Teman

free counters

Kidung Malam 33 Keduanya Tidak Berdaya

Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima. 

Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.

Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.

Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.

“Kang! Bermimpikah aku?”

“Coba aku cubit lenganmu”

“Aduh! Sakit kang.” 

“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”

“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.” 

“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”

Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas. 

Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda: 

“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”

Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai. 

Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.

Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya.

Kidung Malam 32 Antara Hidup dan Mati

Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai. 

Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.

Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.

Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman. 

Ana kidung rumeksa ing wengi
ngreksa jiwa nala ingkang papa
ingkang ringkih sakabehe
saking rasa kumingsun
ngongasake diri pribadi
ngegungake priyangga 
kebak watak umuk
tan gadhah ambeg welas 
marang sapada-padhaning dumadi
tan purun angalaha.


Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya 

Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.

Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.

Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.

Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian. 

Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing. 

Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.

Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.

Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.

Kidung Malam 31 Antara Hidup dan Mati

Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara.

“Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”

“Ampun Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku.”

“Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”

“Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya.”

“Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?”

“Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.” 

“Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”

“Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”

“Cara Ksatria sejati. Perang tanding!”

“Bagaimana Ekalaya?”

”Perang tanding untuk apa? jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf.”

Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.

“Bagaimana jawabmu Harjuna?”

Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.

“Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.” 

“Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu seorang lelananging jagad.”

Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.

Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir pendapa.

Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.

“Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?” celetuk seorang cantrik.

“Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang lain.

Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka. 

Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.

Kidung Malam 30 Dua Murid Berseteru

Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai muridnya.

“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”

“Herjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”

“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”

Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.

Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.

Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya, Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna. 

Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.

Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.

Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali. 

“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”

“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”

“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”

“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku.” 

“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”

Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.” pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.

“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?” 

Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan. 

Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu menyelamatkan diri.

Satu … dua … tiga…

Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.

Kidung Malam 29 PATUNG DURNA

Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut ternyata anjing pelacak milik Harjuna.

Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran Sokalima. 

Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk sementara. 

Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna, namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya. 

Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah. Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya. Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi di mana ia? 

Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.

“Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku, satria Madukara Raden Harjuna.” 

Tantangan itu dilontarkan dengan menggunakan getar jarak jauh, sehingga mampu menyusup sampai ke tempat di mana Ekalaya berada. Ekalaya tidak terpancing oleh tantangan itu. Ia bersama Anggraeni dan Aswatama justru semakin menjauh dari tempat Harjuna berada.

Hari menjelang sore, Harjuna tidak menemukan orang yang membunuh anjing kesayangannya. Namun ada satu hal yang dicatat Harjuna tentang patung Pandita Durna dan sesorang yang belajar memanah. Dan hal tersebut sudah cukup bagi Harjuna untuk menarik kesimpulan bahwa ada saling keterkaitan antara panah di kepala anjingnya dan orang yang belajar memanah di depan patung Pandita Durna. Dan tentunya pula keberadaan Patung Pandita Durna menunjukan bahwa orang yang belajar memanah itu mempunyai hubungan dengan Pandita Durna.

“Ampun Bapa Guru, dengan kenyataan yang ada, lepas dari apakah ia yang membunuh anjingku atau bukan, tentunya Bapa Guru mengetahui siapakah orang yang telah mematungkan Bapa Guru di sanggar di tengah hutan itu.”

Durna tidak mungkin serta merta mengatakan bahwa orang yang dimaksud Harjuna adalah Ekalaya. Namun sebagai maha guru ia pun tidak mungkin berbohong. Oleh karenanya ia lebih memilih menyampaikan jawaban atas pertanyaan Harjuna itu dalam bentuk cerita.

Di sebuah negara besar bertahtalah raja muda yang tampan rupawan. Ia sangat dicintai rakyatnya karena berhasil memerintah dengan adil dan bijaksana. Di negara Paranggelung itulah semua kawula dewasa, baik laki-laki maupun perempuan diajari berolah senjata panah. Maka dapat dipastikan bahwa sang raja muda itu pandai berolah senjata panah. Namun dikarenakan kerendahan hatinya sang raja merasa bahwa ilmu panahnya belumlah apa-apa. Maka ia berusaha mencari guru panah yang sakti. Dan tibalah raja muda itu di sebuah padepokan tempat sang guru sakti mengajarkan ilmu memanah.

Kidung Malam 28 Ilmu Sapta Tunggal

Harjuna adalah seorang ksatria yang gemar ‘tapa ngrame’, selalu siap sedia menolong sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah, membela yang teraniaya. Ia senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menentang yang durhaka. Maka tidak mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna menyusuri jalan-jalan pedesaan, mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna berkenan singgah di rumahnya, untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang dari cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya bagi keluarga yang dikunjungi Harjuna menjadi berkah akan berkelimpahan.

“Hore! Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan bunga mawar warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah hormat kepadanya. Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden, Raden Harjuna. Horeee!”

Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di telinga berhenti seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah singgah di sanubari lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing kesayangannya tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang ditinggal adalah sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar. 

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang tanding melawan panengah Pandawa.”

Suasana hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna. Puntadewa cemas akan keadaan adiknya. 

“Dinda Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat mengendalikan amarahmu ketika melihat panah luar biasa.” 

“Karena anjing kesayanganku dibunuh.”

“Bukan Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah mati, tetapi karena pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam menggunakan senjata panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna. Seharusnya engkau menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit.”

“Kakanda Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna? Mungkinkah yang melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa Guru yang mempunyai ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak panah pada satu titik sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru Durna belum pernah memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali ini. Bapa Durna! Aku datang menghadap.”

Sembari membopong anjingnya yang telah mati, Harjuna diiring oleh Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa menuju ke Padepokan Sokalima. Di balik rimbunnya pepohonan yang dilaluinya, ada dua pasang mata memandang tajam rombongan Pandawa. Mereka adalah Aswatama dan Anggraeni. Sejak Anggraeni dan Ekalaya tinggal di Sokalima, Aswatama menyarankan kepada mereka berdua agar selalu berusaha untuk tidak bertemu dengan murid-murid lain, baik itu para Pandawa atau para Kurawa. Dan saran Aswatama tersebut dipatuhi oleh Ekalaya dan Anggraeni. Demikian juga para cantrik padepokan selalu patuh kepada Aswatama, ikut merahasiakan kehadiran Ekalaya dan Anggraeni. Sehingga sampai memasuki tahun ketiga tidak ada seorang pun tahu bahwa di padepokan Sokalima ada seorang murid luar biasa yang melebihi murid-murid yang lain. 

Kedahsyatan murid Sokalima yang tersembunyi ini, telah dirasakan oleh Harjuna. Diawali dari lolongan anjing pelacak yang sangat mengganggu laku semedi yang sedang dijalani, sehingga Ekalaya terpaksa melepaskan panahnya untuk menghentikan lolongan anjing yang ternyata adalah milik Harjuna.

Kedatangan Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna dengan wajah berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-murid kesayangan yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan wajah sang guru terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput ketika ditatapnya Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya dengan ilmu Sapta Tunggal. 

Hatinya berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Ekalaya. Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya? 

“Apakah Bapa Guru yang telah melakukan ini?”

Durna menggelengkan kepalanya

“Lalu siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu panah andalan Sokalima dengan sempurna?”

Durna berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di hadapan Harjuna. Karena ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid Sokalima yang lebih pandai dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.

“Harjuna, akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi pemburu asing, mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah itu.”

“Ampun Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar Sokalima?”

“Tidak Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar Sokalima. Dan bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal.”

Hujan Meteor Geminid di Penghujung Tahun 2009

Di penghujung tahun 2009, di tengah guyuran hujan yang turun hampir setiap harinya, kita akan mendapat kesempatan untuk menikmati Hujan Meteor Geminid yang merupakan hujan meteor tahunan. Jadi.. siapkan kopi dan coklat panas untuk menemanimu memandangi kilatan meter di malam hari…

Hujan meteor Geminid akan mengalami puncak pada taggal 13-14 Desember 2009.

Hujan meteor Geminid akan megalami puncaknya pada tanggal 13 – 14 Desember 2009, bertepatan dengan dimulainya Bulan Baru, sehingga ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan pengamatan karena tidak akan ada cahaya bulan. Hujan meteor Geminid akan bisa teramati dari sleuruh wilayah di Indonesia pada tanggal 13 Desember malam menjelang dini hari dan pada tanggal 14 malam menjelang tengah malam. Menurut perkiraan International Meteor Organization, di saat maksimum meteor yang akan terlihat bisa mencapai 100 – 140 meteor per jam, pada tanggal 14 Desember jam 05.10 UT atau jam 12.10 wib.

Hujan meteor Geminid merupakan salah satu hujan meteor yang dinantikan karena intensitasnya yang terus meningkat dalam dekade ini dan diharapkan tren yang sama masih akan diteruskan.

Meteor yang tampak dari rasi Gemini ini berasal dari sisa pecahan obyek yang dikenal sebagai 3200 Phaethon, yang dulunya diperkirakan merupakan asteroid. Saat ini Phaethon sudah menjadi komet yang punah. Jadi sebenarnya, ia adalah kerangka batuan dari komet yang sudah kehilangan es setelah berkali-kali melintas Matahari dari dekat. Nah, Bumi yang melintas dalam aliran puing-puing 3200 Phaethon setiap tahun pada pertengahan Desember akan menyebabkan puing-puing itu terbang dari rasi Gemini/. Tepatnya di dekat bintang terang Castor dan Pollux.

Meteor Geminid pertama kali terlihat pada akhir abad ke-19, tak lama setelah perang sipil di Amerika berakhir. Pada saat pertama muncul, hujan meteornya masih lemah dan tidak terlalu menarik perhatian. Pada saat itu debu yang masuk atmosfer Bumi itu hanya bergerak dengan kecepatan 130000 km/jam. Di masa itu, sama sekali tak nampak kalau hujan meteor ini akan berlangsung setiap tahun. Yang menarik, saat ini hujan meteor Geminid merupakan salah satu hujan meteor yang cukup kuat dan menarik perhatian para pengamat. Bahkan ia semakin kuat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh gravitasi Jupiter yang berlaku pada aliran puing-puing Phaethon dan menyebabkan mereka bergeser mendekati orbit Bumi. Meteor Geminid sendiri masih tergolong meteor dengan kecepatan menengah pada kisaran 35 km / detik, sehingga akan mudah dikenali di bentangan langit malam.

Apakah Ada Planet di Bintang VB 10?

Bulan Mei 2009, para astronom bergembira karena akhirnya untuk pertamakalinya teknik astrometri berhasil digunakan untuk menemukan sebuah planet baru dengan massa 6 massa Jupiter mengitari bintang VB 10 di rasi Aquilla, pada jarak 20 tahun cahaya.

Planet VB 10b menghilang. Kredit : NASA

VB 10 merupakan sebuah bintang yang sangat kecil, yang dikenal sebagai bintang katai M (bintang merah) dan memiliki massa hanya satu per tiga belas dari massa Matahari. Bintang ini hanya cukup besar untuk bisa melakukan reaksi fusi pada atom-atom di intinya dan bersinar dengan cahaya bintang yang cukup. Atau dengan kata lain, jika ukurannya lebh kecil sedikit lagi, maka bintang ini tak akan bisa memiliki reaksi fusi di intinya.

Yang menarik, selama bertahun-tahun VB 10 dikenal sebagai bintang terkecil yang sudah diketahui. Dan sekarang VB 10 justru dilabeli lagi sebagai bintang terkecil yang diketahui memiliki planet. Faktanya, meski si bintang ini lebih masif dari planet yang ditemukan mengelilingi dirinya, tapi sebenarnya kedua benda ini tampak hampir sama. Planet ini menjadi sebuah kebangkitan dan pembuktian sekaligus angin segar kalau astrometri bisa digunakan dalam pencarian exoplanet. Setidaknya demikianlah berita penemuan sekaligus berita gembira yang dibawa oleh Steven Pravdo dari Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, California saat mengabarkan penemuan exoplanet VB 10b yang diamati dengan teleskop di Observatorium Palomar di California selatan.

Planet VB 10b yang menghilang
Tapi.. di balik semua kegembiraan itu, sebuah berita mengejutkan datang menghampiri. Planet VB 10b yang seharusnya megorbit bintang VB 10 itu tidak ada lagi. Apakah ia menghilang? Kalau benar planet itu tidak ada… ini juga sbeuah pukulan bagi strategi pencarian planet yang kita kenal sebagai teknik astrometri.

Setelah Steven Prado dari JPL mengumumkan penemuannya, ada kelompok peneliti lain dari Georg-August University, Gottingen, Jerman, yang mengamati bintang yang sama dengan pendekatan berbeda dan tidak menemukan apapun. Adalah jacob Bean dan rekan-rekannya yang kembali melakukan pengamatan VB 10 dengan menggunakan teknik kecepatan radial, sebuah teknik pencarian exoplanet yang sudah berhasil menemukan ratusan planet di berbagai bintang. Hasilnya, “Planet itu tidak ada di sana,” kata Bean.

Pengukuran dengan teknik kecepatan radial biasanya memanfaatkan pita tampak pada spektrum elektromagnetik. Namun dikarenakan VB10 merupakan bintang yang sangat redup, ia hanya bisa diamati dalam panjang gelombang inframerah. Untuk itu, Bean meletakkan sel gas yang diisi amonia pada jalur cahaya bintang, sehingga ia bisa mengkalibrasi Very Large Telescope di Chile yang ia gunakan untuk mengamati pada infra merah.

Bean sendiri mengharapkan mereka bisa mendapatkan sejumlah perubahan yang signifikan pada data yang mereka miliki seandainya planet itu ada di sana. Dan sayangnya mereka tak melihat adanya perubahan itu, yang artinya lagi exoplanet VB 10b itu menghilang atau tidak ada di luar sana.

Perdebatan Yang Muncul
Hasil pengamatan Jacob Bean dan kawan-kawannya ini justru membawa perdebatan baru tentang penemuan planet VB 10b tersebut. Bahkan menurut Steven Pravdo, Bean dan koleganya mungkin saja benar namun mereka terlalu berlebihan dalam penolakan terhadap kandidat planet yang ditemukan Pravdo (VB 10b).

Salah satunya menurut Pravdo, di dalam paper yang ditulis oleh Bean, ia tidak memperhitungkan keberadaan planet dengan massa setidaknya 3 kali lebih masif dari Jupiter, sehingga pekerjaannya hanya terbatas pada orbit tertentu untuk kemungkinan planet yang ada dan bukan untuk semua planet.

Nah, Bean kemudian menyanggah bahwa astrometri merupakan teknik pengamatan yang sangat sulit untuk diterapkan pada exoplanet. Hal ini disebabkan oleh atmosfer Bumi yang bisa menyebabkan terjadinya distorsi sehingga mempengaruhi pengukuran.

Menurut Alessandro Sozzetti, salah seorang pakar dalam astrometri di Observatorium Turin, Italia, “Astrometri bergantung pada pengamatan bintang-bintang pada satu bidang langit yang memiliki jarak yang sama dengan bintang yang menjadi target, sebagai bintang kalibraso. Dan ini bisa jadi sangat sulit meskipun kita memiliki satu set bintang referensi yang baik. Masih ada keterbatasan lainnya yakni efek atmosfer yang menyebabkan terjadinya variasi waktu pada periode sinyal gerak bintang-bintang.

Pendapat lain datang juga dari Alan Boss, salah satu ahli exoplanet di Carnegie Institution of Washington. Ia menyatakan bahwa apa yang dinyatakan Jacob Bean bisa saja terjadi. Ia kemudian mengacu pada kejadian tahun 1963 saat astronom Belanda, Piet van de Kamp, menggunakan teknik astrometri dan menyatakan kalau ia menemukan 2 planet mengorbit bintang Barnard. Penemuan ini kemudian tidak disetujui satu dekade kemudian. Nah, perdebatan seputar planet VB10 merupakan contoh lain dari sulitnya mendeteksi planet extrasolar dengan menggunakan teleskop landas Bumi.

Misi Masa Depan
Tak bisa dipungkiri, para astronom memang mengharapkan astrometri bisa bekerja lebih baik lagi meskipun ada efek dari atmosfer khususnya dalam pencarian planet di luar Tata Surya ini. Di masa depan ada dua misi ruang angkasa yang akan bekerja dalam pencarian planet-planet baru, yakni GAIA milik ESA yang akan diluncurkan tahun 2012 dan Space Interferometry Mission milik NASA yang masih belum ditentukan tanggal peluncurannya.

Keduanya akan menggunakan teknik untuk mencari planet seukuran Bumi di sekitar bintang sekelas Matahari. Secara signifikan astrometri bisa menunjukkan pada kita massa sebuah planet sedangkan teknik kecepatan radial hanya bisa memberikan batas minimum massa sebuah planet.

Untuk kasus keberadaan VB 10b, Bean mengakui suatu hari astronom bisa saja menemukan planet di sekitar bintang VB10 jika mereka mencari dengan seksama dan lebih mendetil lagi pada bintang tersebut, dan mencari dengan sangat keras.

Pelajaran berharga untuk kasus VB 10 menurut Alan Boss adalah, dibutuhkan data berkualitas tinggi untuk memastikan keberadaan sebuah exoplanet.

Supernova, Cara Bintang Mengakhiri Hidupnya


Supernova. Kredit : NASA

Mendengar kata Supernova, rasanya sudah tak asing lagi bagi sebagian pembaca di Indonesia. Bagaimana tidak, supernova pernah diangkat menjadi judul salah satu novel beberapa tahun lalu. Tapi kali ini, kita tidak sedang mebicarakan supernova yang novel itu, melainkan supernova, ledakan bintang maha dsyat yang terjadi di alam semesta.

Dahulu kala, di galaksi yang sangat jauh, sebuah bintang meledak. Ledakannya sangat besar hingga terangnya lebih bercahaya dibanding galaksi tempat ia berada. Tipe ledakan seperti ini kemudian dikenal sebagai Supernova. Nah, supernova di galaksi kita terakhir kali ditemukan sekitar 400 tahun yang lalu. Namun, bukan berarti supernova di tempat lain tak pernah ditemukan.

Supernova bisa dikatakan merupakan salah satu cara dari bintang untuk mengakhiri masa hidupnya. Nah, supernova itu sendiri memiliki peran yang sangat penting untuk bisa memahami Galaksi kita. Kenapa begitu?? Supernova memanaskan medium antar bintang, dan mendistribusikan elemen berat (elemen selain Hidrogen dan Helium merupakan elemen berat –red) keseluruh Galaksi dan mempercepat sinar kosmik.

Sebenarnya, supernova itu sendiri memiliki dua tipe, yakni supernova yang terjadi dari bintang massif tunggal dan supernova yang terjadi akibat transfer massa ke bintang katai putih dalam system bintang ganda. Perbedaan kedua tipe ini terletak pada proses pemicu terjadinya ledakan tersebut.

Supernova dari Bintang Tunggal bermassa besar
Bintang juga memiliki sebuah siklus hidup, dimana ia akan mengakhiri masa hidupnya suatu saat kelak. Salah satu caranya yah melalui Supernova. Tapi tidak semua bintang akan mengalami supernova. Supernova terjadi pada bintang yang massanya 8 kali massa matahari atau lebih massif dari Matahari. Nah, supernova akan terjadi ketika bintang tersebut tidak lagi memiliki cukup bahan bakar untuk proses fusi di inti bintang untuk memnciptakan tekanan keluar sehingga memicu terjadinya dorongan gravitasi kedalam massa bintang yang besar.

Pertama-tama, bagian luar bintang akan mengembang menjadi raksasa merah, sementara di bagian dalamnya, pusat bintang akan menghasilkan gravitasi dan memulai terjadinya pengerutan. Saat mengerut pusat bintang menjadi lebih panas dan rapat. Pada titik ini, sejumlah reaksi nuklir mulai terjadi….dan bisa menghentikan keruntuhan pusat bintag untuk sementara. Perlu diingat, Hanya Sementara. Saat di pusat bintang hanya tersisa besi, maka tak ada lagi pembakaran. Saat fusi tak lagi terjadi, dalam hitungan detik, bintang memulai fasa akhirnya yakni keruntuhan gravitasi. Temperatur di pusat bintang naik melebihi 100 miliar, kemudian pusat bintang mengalami tekanan dan mengecil namun kemudian mengembang secara tiba-tiba. Energi pengembangan ini ditransfer ke selubung bintang, yang kemudian memicu terjadinya ledakan dan menimbulkan gelombang kejut. Saat gelombang kejut ini bertemu dengan materi bintang di lapisan terluar, materi dipanaskan dan mengalami pembakaran membentuk elemen baru dan isotop radioaktif. Nah, gelombang kejut ini juga akan menyebabkan terlepasnya materi ke angkasa. Materi yang terlepas saat ledakan bintang terjadi saat ini dikenal dengan nama supernova remnant.

Ledakan Bintang katai Putih
Tipe lainnya dari Supernova melibatkan ledakan tiba-tibda dari bintang katai putih dalam system bintang ganda. Bintang katai putih merupakan titik akhir hidup bintang yang massanya sekitar 5 massa matahari. Katai putih sendiri memiliki massa kurang dari 1.4 massa matahari dan hampir seukuran Bumi.

Dalam sistem bintang ganda, bintang katai putih akan menarik sejumlah materi bintang pasangannya jika keduanya sangat dekat. Nah hal ini akan memicu terjadinya tarikan gravitasi pada objek yang rapat seperti katai putih. Pada saat materi yang ditarik ini ditransfer ke katai putih, dan saat massa bintang katai putih mencapai 1.4 kali massa Matahari, tekanan di pusat akan mencapai batas ambang bagi nuclei karbon dan oksigen untuk memulai pembakaran secara tidak terkontrol yang pada akhirnya menjadi pemicu terjadinya ledakan.

Magnetar, Medan Magnet Terkuat di Jagat Raya

Bintang Netron merupakan sisa dari bintang masif (sekitar 10-50 massa Matahari) yang mengalami keruntuhan terhadap dirinya sendiri. Bintang ini tersusun dari neutron (partikel sub atom yang tidak bermuatan), dengan massa lebih besar dari massa Matahari (1,35 -2,1 massa Matahari) namun hanya berdiameter 20km.

Bintang ini sangat padat bahkan satu sendok teh materi bintang netron beratnya bisa mencapai 100 juta ton. Karakteristik lainnya dari bintang netron adalah rotasinya yang cepat dan medan magnetiknya yang kuat.



Impresi artis untuk Magnetar. Kredit : ESA


Magnetar merupakan kelas dalam Bintang Netron yang memiliki medan magnet ultra-kuat, diperkirakan ribuan kali lebih kuat dari bintang netron normal dan menjadikan mereka magnet paling kuat di kosmos. Namun mengapa magnetar bisa tampak bersinar dalam penglihatan sinar X masih menjadi pertanyaan bagi para astronom.

Kali ini, data dari XMM-Newton and Integral orbiting observatories digunakan untuk menguji komponen sinar X dari magnetar.

Sampai saat ini sudah ada 15 magnetar yang ditemukan. Lima di antaranya dikenal sebagai soft gamma repeaters (SGRs) karena mereka secara sporadis menyemburkan letupan (sekitar 0,1detik) sinar gamma berenergi lemah dan letupan sinar X yang kuat. Sisa 10 magnetar lainnya diasosiasikan sebagai anomalous X-ray pulsars atau AXP’s.

Walaupun SGRs dan AXP’s pada awalnya diperkirakan sebagai objek yang berbeda, namun saat ini diketahui mereka memiliki karakteristik yang sama dan aktivitas yang terjadi di dalamnya berasal dari medan magnetnya yang kuat.

Magnetar memang berbeda dari bintang netron normal karena medan magnetik di dalam magnetar diperkirakan sangat kuat dan mampu memilin kerak bintang. Seperti sebuah sirkuit yang diberi tenaga oleh baterai raksasa, kemampuan memilin yang ada di magnetar bisa menghasilkan arus dalam bentuk awan elektron yang mengalir disekeliling bintang. Arus tersebut berinteraksi dengan radiasi yang datang dari permukaan bintang dan menghasikan sinar-X.

Sampai saat ini para peneliti masih belum bisa menguji prediksi yang mereka buat karena tidak mungkin untuk memproduksi medan magnet ultra-kuat dalam laboratorium di Bumi.

Nah untuk memahami fenomena ini, tim yang dipimpin oleh Dr. Nanda Rea dari University of Amsterdam menggunakandata dari XMM-Newton and Integral untuk mencari awan elektron yang rapat di sekeliling magnetar untuk pertama kalinya.

Tim Rea berhasil menemukan bukti kalau arus elektron yang besar memang ada dan bisa diukur kerapatannya yang ternyata memang ribuan kali lebih kuat dari pulsar normal. Mereka juga megukur tipe kecepatan saat arus elektron ini melemah. Dengan data ini dibuat hubungan antara fenomena yang didapat dari observasi dengan proses fisisnya. inilah yang merupakan kunci penting dalam memecahkan teka teki objek langit yang satu ini.

Saat ini Rea dan timnya sedang mencoba membangun dan menguji model yang lebih detil untuk bisa memberi pemahaman yang lebih lanjut akan pengaruh medan magnet yang kuat seperti pada magnetar.

Lubang Hitam di Galaksi Tetangga


ESO
Galaksi spiral NGC 253 atau Galaksi Sculptor dengan lubang hitam yang diduga kembaran Sagittarius A di Galaksi Bima Sakti.


NASA/CXC/M. Weiss
Ilustrasi cincin bintang-bintang yang terlihat mengelilingi Sagittarius A, lubang hitam di galaksi Bimasakti.

SEBUAH lubang hitam (black hole) terdeteksi di galaksi yang hanya berjarak 11 tahun cahaya (1 tahun cahaya setara dengan 9,5 triliun kilometer) dari Galaksi Bimasakti. Lubang hitam tersebut mungkin kembaran lubang hitam yang ada di galaksi tempat tata surya berada.

Galaksi yang disebut NGC 253 tersebut merupakan salah satu galaksi spiral yang mengandung banyak sekali bintang dan debu angkasa yang pekat. Karena letaknya di konstelasi Sculptor, galaksi tersebut juga disebut Galaksi Sculptor. Galaksi tersebut juga disebut galaksi starbust karena banyaknya bintang yang terbentuk di dalamnya.

Para astronom dari Instituto de Astrofisica de Canaries di Spanyol berhasil merekam dengan detik galaksi tersebut menggunakan instrumen optik adaptif di teleskop raksasa VLT (very large telescope) milik ESO (European Southern Observatory) yang ada di Gurun Atacama, Chili. Peralatan tersebut dilengkapi instrumen optik dan cermin yang mengatasi efek blur akibat pembiasan di atmosfer sehingga kemampuan teleskop terestrial ini setara dengan teleskop ruang angkasa.

"Pengamatan kami menghasilkan rincian gambar yang jauh lebih jelas," ujar Juan Antonio Fernandez-Ontiveros. Dari gambar tersebut, para astronom menemukan 37 daerah cemerlang yang berada di satu kawasan sempit di pusat galaksi.

Bintang-bintang yang sangat rapat itu berkumpul di satu daerah yang hanya mewakili satu persen besar galaksi. Di kawasan tersebut mungkin terdapat pusat kelahiran bintang yang terbentuk di gumpalan debu yang sangat pekat.

Selain itu, hasil pemantauan yang dikombinasikan dengan pengukuran gelombang maupun citra teleskop ruang angkasa Hubble menunjukkan adanya aktivitas gelombang radio yang sangat tinggi di kawasan tersebut. Para peneliti yakin di pusat galaksi ini terdapat sumber pancaran gelombang radio seperti Sagittarius A di dekat pusat galaksi Bima Sakti yang merupakan tempat terbentuknya lubang hitam.

"Kami mungkin menemukan kembaran pusat galaksi kita," ujar Almudena Prieto. Temuan ini dipublikasikan di jurnal Monthly Notices of the Royal Academy Society Letters edisi teranyar.

Lubang hitam merupakan misteri alam yang diperkirakan terbentuk dari bintang sangat besar yang telah mati karena menghabiskan seluruh energinya. Saat pusatnya tak menghasilkan dorongan ke luar, dinding bintang malah runtuh dan menarik obejl-obejk di sekitarnya. Kekuatan gravitasi lubang hitam sangat besar bahkan menarik cahaya ke dalam. Lubang hitam gelap gulita dan hanya terdeteksi dari aktivitas gelombang radio dan objek-objek yang terlihat mengelilinginya.

Planet Paling Dingin Berhasil Dipotret

Sejak ditemukannya planet diluar sistem Tata Surya, tak pelak perkembangan exoplanet menjadi sangat pesat. Lebih dari 400 buah planet telah ditmeukan megitari bintang-bintang lain dan tak hanya itu, teknologi yang dikembangkan pun semakin hari semakin baik dalam mendeteksi planet-planet di rimba alam semesta ini. jika beberapa bulan lalu HARPS, berhasil menemukan puluhan planet baru, kali ini HiCIAO memberikan kontribusi penemuan baru yang tak kalah menariknya. 


GJ 758 di konstelasi Lyra. Kredit :Stellarium

HiCIAO (High Contrast Instrument for the Subaru Next Generation Adaptive Optics) merupakan kamera yang dipasang pada teleskop Subaru 8-meter yang berlokasi di puncak Mauna Kea di Hawaii. Pengamatan yang dilakukan HiCIAO membawa manusia pada sebuah era lain dunia exoplanet. Sebuah planet dengan kecerlangan redup berhasil dipotret dan diungkapkan oleh pengamatan ini pada bintang GJ 758. Yang menarik, ini adalah exoplanet pertama yang merupakan planet dingin yang mengorbit bintang serupa Matahari. Massa exoplanet tersebut diperkirakan mencapai 10 – 40 massa Jupiter, menempatkan planet GJ 758 B masuk dalam jajaran planet raksasa atau bisa jadi sebuah katai coklat yang ringan. Orbit GJ 758 B jauh lebih besar dari Neptunus dengan temperatur hanya 600 K. dengan demikian plant GJ 758 B ini merupakan planet paling dingin yang pernah ditemukan sedang mengorbit bintang serupa Matahari.

GJ 758 B yang berada di rasi Lyra, berhasil dipotret dengan teleskop Subaru 8- meter di Mauna Kea, Hawaii, dengan menggunakan adaptif optik yang digunakan untuk mengkoreksi turbulensi atmosfer Bumi. Dari citra yang berhasil diambil, bintik yang menandakan si planet justru hilang ditelan sisa-sisa cahaya menyilaukan sang bintang induk. Planet tersebut berhasil dikenali setelah seluruh citra tunggal yang diambil digabungkan berdasarkan waktu dengan menggunakan teknik angular differential imaging (ADI). Dengan cara ini, para astronom dapat menghilangkan halo bintang dari citra sehingga si planet bisa dikenali.

Dari seluruh exoplanet yang ditemukan, hanya ada 10 exoplanet yang berhasil ditemukan dengan pemotretan secara langsung. Dari seluruh planet yang berhasil dipotret tersebut, masing-masing planet memiliki kondisi yang berbeda dari yang kita kenal di Tata Surya. Di antaranya, ada planet yang memiliki orbit sangat lebar (ratusan kali jarak Bumi-Matahari), atau ada yang temperaturnya hampir sama dengan temperatur sbeuah bintang dibanding temperatur sebuah planet (> 1000 K) atau bahkan si bintang induknya cukup berbeda dari Matahari seperti halnya bintang kelas-A yang lebih masif ataupun bintang kelas M yang massanya jauh lebih kecil.

Citra GJ 758 B yang dipotret dengan Subaru HiCIAO. Kredit : NAOJ

Jika dibandingkan dengan kandidat lainnya, GJ 758 B memiliki beberapa kemiripan dengan planet di Tata Surya. Ia mengitari bintang serupa Matahari, jaraknya sebanding dengan planet di sistem terluar Tata Surya. dan jika diamati dari Bumi, planet GJ 758 B ini tampaknya berada pada kisaran jarak Neptunus dengan Matahari. Yang menarik, temperatur planet berkisar pada 550 – 640 Kelvin, hampir sama dengan suhu oven yang sedang dibakar dengan kekuatan peuh atau malah sama dengan temperatur di sisi siang hari planet Merkurius. Dengan demikian, GJ 758 B menjadi planet terdingin yang pernah ditemukan mengorbit bintang serupa Matahari melalui pencitraan.

Neptunus, planet terluar di Tata Surya, hanya menerima sekitar 1/900 cahaya Matahari yang diterima Bumi dan memiliki temperatur permukaan 70 K. Nah, GJ 758 memiiki temperatur yang lebih tinggi dan diperkirakan objek ini masih mengalami kontraksi atau dengan kata lain berada pada masa hidup menengah dari fasa kehidupan planet gas raksasa dimana energi gravitasi diubah menjadi panas. Untuk objek seperti ini, temperatur, umur dan massa akan memiliki hubungan. Semakin besar si planet raksasa, maka semakin panjang pula waktu yang dibutuhkan untuk meradiasi panas keluar ke angkasa dan kemudian mencapai kesetimbangan termal.

Penemuan GJ 758 B, sebuah exoplanet atau bahkan sebuah bintag katai coklat yang mengorbit bintang mirip Matahari menunjukkan ragam planet dan objek yang bisa terbentuk di sekitar bintang sekelas Matahari.

Mengungkap Keberadaan Tsunami Matahari

Di suatu waktu ada saatnya kamu harus percaya pada apa yang kamu lihat. Itulah yang coba dikatakan STEREO (Solar Terrestrial Relations Observatory) milik NASA pada para penelitinya tentang fenomena kontroversial di Matahari yakni “tsunami matahari”

Bertahun-tahun lalu, saat para ahli fisika matahari untuk pertama kalinya menyaksikan gelombang tinggi plasma panas yang berlomba di permukaan matahari, mereka menyangsikannya. Skalanya memang mengejutkan. Gelombang tersebut berkembang semakin tinggi bahkan melebihi Bumi dan menghasilkan riak dari titik pusat dengan pola sirkular sampai pada jarak jutaan km di sekitarnya. Para pengamat yang skeptis beranggapan kalau hal itu merupakan bayangan dari suatu tipuan mata namun bukan benar-benar sebuah gelombang.

Nah sekarang…. bisa dikatakan kebenaran itu terungkap. Tsunami Matahari itu benar-benar ada.



Tsunami Matahari yang disaksikan STEREO dari sudut yang berbeda. Kredit : STEREO/NASA

Pesawat ruang angkasa kembar, STEREO mengkonfirmasi kebenaran ini pada bulan Februari 2009 saat bintik matahari 11012 secara tak terduga meletus. Letusannya melemparkan milyaran ton awan gas (CME / coronal mass ejection) ke angkasa dan mengirim tsunami yang berpacu bergulung di permukaan matahari. STEREO berhasil merekam gelombang tersebut dari 2 posisi yang terpisah 90o sehingga para peneliti bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari kejadian tersebut.

Menurut Spiros Patourakos dari George Mason University, “Ini benar-benar sebuah gelombang. Bukan gelombang air tapi gelombang raksasa plasma panas an magnetisme.”

Secara teknis ia dinamai “mode cepat gelombang magnetohidrodinamil” atau gelombang MHD” . Yang dilihat STEREO itu memiliki ketinggian 100000 km dan bergerak dengan kecepatan 250 km/s memuat energi sebesar 2400 megaton TNT. Bayangkan saja jika ini terjadi di Bumi.
Tsunami matahari ditemukan pada tahun 1997 oleh Solar and Heliospheric Observatory (SOHO). Pada bulan Mei tahun yang sama, ledakan CME terjadi dari area aktif pada permukaan matahari dan SOHO berhasil merekan kejadian ledakan saat itu. Menurut Joe Gurman dari Solar Physics Lab di Goddard Space Flight Center, saat itu mereka justru bertaya-tanya apakah itu sebuah gelombang atau sekedar bayangan dari ujung CME.
Sudut pandang tunggal yang dimiliki SOHO memang tidak cukup untuk mejawab pertanyaan yang ada. Tidak untuk gelombang yang pertama atau kejadian serupa yang terjadi di tahun-tahun berikutnya.

Pertanyaan itu tetap muncul sampai peluncuran STEREO di tahun 2006. Pada saat terjadinya erupsi bulan Februari 2009, STEREO-B sedang berada di atas lokasi ledakan sedangkan STEREO-A sedang berada pada sudut yang lain. Kondisi geometri yang sangat pas untuk memecahkan misteri yang ada bertahun-tahun.


Prominens yang berdansa. Kredit : NASA

Kondisi fisik gelombang telah terkonfirmasi melalui film pendek saat gelombang tersebut menabrak sesuatu. “Kami melihat gelombang itu dipantulkan oleh lobang korona (lobang magnetik pada atmosfer matahari) dan ada film menarik dari prominens matahari yang berosilaso setelah ia ditabrak oleh gelombang tsunami tersebut. ” kata Vourlidas dari NAVAL Research Lab di Washington DC.

Tsunami matahari ini tidak berbahaya bagi Bumi, namun sangat penting untuk dipelajari. Hasilnya dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi Matahari. Dengan melihat bagaimana si gelombang menyebar dan mlambungkan benda lain, kita bisa mengumpulkan informasi tentang atmosfer terendah di matahari.

Menurut Vourlidas, “gelombang tsunami juga dapat membantu dalam melakukan prakiraan cuaca angkasa. Seperti tembakan yang tepat mengenai target, gelombang ini menandai area dimana erupsi atau letusan itu terjadi. Mengetahui lokasi ledakan akan sangat membantu kita untuk mengantisipasi jika suatu saat CME atau badai radiasi akan mencapai Bumi.”

Kidung Malam 27 Panah Misterius

“Bapa Pandita aku datang.” 

Durna mempersilakan anaknya masuk ke ruang dalam dan duduk mendekat, dan sangat dekat. Matanya yang sudah sipit semakin disipitkan. Di balik pelupuk matanya, Durna memandangi anaknya tajam sekali. 

“Aswatama dapatkah aku membantumu?”

“Tentu Bapa Pandita, aku sangat membutuhkannya.” 

“Katakan anakku.”

Aswatama tidak segera mengatakan maksudnya. Mulutnya terasa berat untuk membuka, mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan hatinya. Durna sengaja membiarkan Aswatama mengatasi gejolak hatinya sehingga mulutnya dapat menyampaikan maksud hati yang sesungguhnya. 

Berat rasanya beban itu disimpan sendirian. Ia ingin berbagi kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yaitu Bapa Pandita Durna. 

“Bapa Pandita, maafkan anakmu ini, karena aku telah jatuh cinta kepada Anggraeni.”

Pernyataan Aswatama tersebut tidak mengejutkan Durna. Namun keberanian Aswatama mengatakan ya

Semenjak ia bergaul akrab dengan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mengalami kemajuan yang sangat pesat di dalam pengelolaan terhadap diri sendiri dan pandangan-pandangannya mengenai hidup dan kehidupan. 

Pernyataannya bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Dewi Anggraeni, isteri Prabu Ekalaya, adalah bukti bahwa Aswatama berani berkata dari kejujurann hatinya. Walaupun ia menyadari bahwa Aswatama tidak mungkin meminang Aggraeni, kata hatinya harus diungkapkan bahwa ia telah jatuh cinta kepada Anggraeni.

“Aswatama anakku, apa yang engkau katakan kepadaku ini juga telah engkau katakan kepada Anggraeni?”

“Tidak Bapa, tidak ada gunanya aku mengatakan kepada Dinda Anggraeni, karena aku berkeyakinan bahwa sesungguhnya Dinda Anggraeni sudah tahu bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bahkan bisa jadi pernyataanku akan menjauhkan persahabatanku dengan mereka.” 

“Bagus anakku, artinya engkau menyadari bahwa cinta antara pria dan wanita yang bergelora di hatimu tidak mendapatkan tempat di hati Anggraeni?”

“Benar Bapa, demikian adanya.”

“Oh ngger anakku Aswatama, aku tidak menyesalkan nasibmu yang kurang beruntung, tetapi aku mensyukurinya bahwa engkau mampu berpikir jernih. Sebagai titah yang lemah, engkau tidak kuasa menolak dorongan cinta yang kuat. Tetapi sebagai titah yang dicintai dewa, engkau diberi kekuatan untuk menghadapi semuanya itu. Aswatama anakku, mataku terbuka, engkau benar-benar telah dewasa.”

Aswatama mendekap lutut Pandita Durna erat-erat, dan Pandita Durna mengelus-elus kepalanya dengan penuh haru dan kasih sayang. Tanpa sengaja benak dan pikiran mereka mengingat pada sosok yang sama bernama Batari Wilutama. Durna dahaga akan kasih sayang isteri yang dengan kesejukannya mendampingi dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan Aswatama lebih membayangkan jika ia sejak kecil mendapatkan kasih sayang seorang ibu tentunya akan lain jadinya.

Beberapa saat kemudian, Durna dan Aswatama menuju sanggar pamujan. Mereka sepakat ingin mendapatkan kekuatan dan jalan keluar dari segala permasalahan yang membelenggu hidupnya.

Siang itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan sempurna. Namun walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya pepohonan di hutan kecil yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung jalan setapak yang diapit oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan bangsawan sedang berburu binatang hutan. Salah satu di antaranya adalah Harjuna dengan membawa anjing pelacak. Tanpa seorang pun mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak dengan keras dan berlari menuju arah tertentu. Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan saudara-saudaranya mengikuti anjing pelacak tersebut.

Cep! Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam seketika. Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah tidak bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum pernah ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima yang ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat kemampuan menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di bawah seorang yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak tersebut. Dengan seksama Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang tepat menancap di antara kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak panah yang menancap hampir bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga cukup menyisakan satu anak panah rangkap tujuh. Sangat luar biasa.

“Kurang ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?” 

Bima, Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan dengan Harjuna. Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir bersamaan menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa jengkal di depannya.

Kidung Malam 26 Bertepuk Sebelah Tangan

Ekalaya membuktikan tekadnya untuk belajar tuntas ilmu memanah dari Pandita Durna. Walaupun setahun lebih keberadaannya di Sokalima ia secara resmi belum diangkat menjadi murid, ia telah memanfaatkan pertemuannya dengan Pandita Durna untuk menyerap berbagai ilmu yang diajarkan di Sokalima. Bahkan mulai menginjak tahun kedua, Ekalaya dengan dibantu Anggraeni dan Aswatama dan beberapa cantrik padepokan telah membuat sanggar di tengah hutan kecil di pinggiran wilayah Sokalima. Di sanggar yang suasana dan penataannya disesuaikan dengan gambaran mimpinya, Ekalaya dengan tekun belajar praktek memanah. 

Patung pandita Durna yang diletakkan di altar sanggar mampu memberikan energi yang luar biasa bagi Ekalaya untuk belajar dan terus belajar. Mata patung yang dipahat cekung ke dalam seakan-akan menatap penuh waspada manakala Ekalaya mulai menarik busurnya. Sudut bibir patung yang dipahat sedikit naik ke atas, sepertinya sang Guru tersenyum bangga menyaksikan anak panah si murid satu-persatu melesat cepat, tepat mengenai sasaran. Tangan patung sebelah kiri kelihatan seperti mempersilakan apa pun yang akan dicoba dan dilatih oleh sang murid. Sementara tangan patung sebelah kanan memegang tasbih, dapat diartikan bahwa sang guru senantiasa berdoa bagi muridnya agar dapat berhasil menuntaskan ilmu yang telah dipelajarinya.

Anggraeni tidak berani mengganggu suaminya yang sedang berkonsentrasi tinggi dalam usahanya menyempurnakan ilmu memanah. Namun sebagai seorang isteri ia tidak pernah melepaskan pendampingannya. Siang malam Anggraeni, sang prameswari paranggelung, berada di sanggar, selalu siap sedia sewaktu-waktu suaminya membutuhkan bantuan yang perlu segera dipenuhi. Kelancaran Ekalaya dalam proses penyerapan ilmu-ilmu Sokalima, khususnya ilmu berolah senjata panah serta segala fasilitasnya, tidak lepas dari peran Aswatama.

Sesungguhnya di balik kebaikan Aswatama terhadap keduanya, terkandung maksud yang hingga saat ini masih tersimpan rapat di hatinya. Sejak awal pertemuannya dengan Anggraeni khususnya, Aswatama telah jatuh hati. Ia ingin selalu bertemu dan berdampingan dengannya, bahkan lebih dari itu. Oleh karenanya Aswatama memakai berbagai cara dan straregi untuk dapat selalu bersama dengan Anggraeni.

Aswatama tidak menyadari bahwa kesempatan yang selalu memungkinkan untuk dapat bersama-sama dengan Anggraeni dan Ekalaya tidak lepas dari peran Pandita Durna. Keberadaan Ekalaya yang bertahan hingga tahun kedua di Sokalima, memang disengaja oleh Durna. Sebenarnya status Ekalaya di Sokalima masih menggantung. Dikatakan sebagai murid Sokalima, Durna belum mengangkatnya secara resmi. Namun jika tidak dianggap murid Sokalima, nyatanya ia telah menyerap sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima. Hal tersebut memang tidak penting bagi Pandhita Durna, karena yang diutamakan adalah supaya Aswatama bergaul semakin akrab dengan Anggraeni. Karena ia tahu bahwa anaknya telah jatuh hati dengan prameswari Paranggelung tersebut. 

Namun setelah menginjak tahun kedua, benih cinta Aswatama semakin mengakar kuat, dan rupanya hal tersebut justru menjadi semakin sulit dilepaskan. Ada penyesalan yang kemudian datang terlambat, mengapa Durna tidak menolak Ekalaya dan Anggraeni lebih awal. 

Oh ngger anakku, mengapa kamu jatuh cinta kepada seseorang yang sudah bersuami?

Sebenarnya bukan hanya Aswatama, siapapun orangnya akan jatuh hati melihat keelokan paras Anggraeni. Terlebih lagi jika sudah bertatap muka, saling menyapa, bergaul akrab dengannya, dapat dipastikan akan menumpuk rasa kagum yang menggunung dan rasa terpana yang tak berkesudahan. Oleh karenanya Aswatama tidak bersalah jika di hatinya telah tumbuh pohon cinta yang semakin lebat, karena tanpa disadari, Anggraeni telah menyiraminya setiap hari.

Sesungguhnya Anggraeni tahu bahwasanya Aswatama jatuh hati kepada dirinya. Namun bagi Anggraeni itu adalah urusan Aswatama. Sedangkan urusan Anggraeni adalah menjaga kemurnian perkawinannya dengan Ekalaya, tanpa harus menyakiti orang lain. Itulah yang selama ini dilakukan oleh Anggraeni ketika harus bergaul dengan orang lain, tak terkecuali Aswatama. Maka jika rasa hormatnya karena Aswatama adalah anak dari guru suaminya, dan rasa terimakasihnya karena Aswatama telah banyak membantu usahanya diartikan lain, sekali lagi itu adalah urusan Aswatama.

Aswatama pun tahu bahwa wanita seperti Anggraeni tidak mungkin akan menodai perkawinannya dengan Ekalaya, ia lebih baik mati daripada mengingkari kesetiaannya. Keramahan, kebaikan, sendau-gurau dan rasa hormat yang diberikan Anggraeni sangat terukur, tidak pernah melebihi batas-batas yang telah dibuatnya. Kejelasan dan ketegasan Anggraeni yang menandai hubungannya dengan Aswatama seharusnya sudah cukup bagi Aswatama untuk menarik diri dan perlahan-lahan membiarkan pohon cinta di hatinya kering dan kemudian mati. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sikap Anggraeni yang tegas, suci dan mulia itu justru membuat Aswatama semakin jatuh cinta. Memang berat rasanya bertepuk sebelah tangan. Namun tetap mengasyikkan untuk diteruskan.

Kidung Malam 25 Hidup menjadi Indah

Ada perasaan menyesal menggelayut di dada Durna, ketika di pagi buta, pusaka Gandewa telah dibawa pergi oleh Harjuna. Walaupun langkah itu sudah digelar-digulung sebelumnya, toh kekecewaan masih juga menghampiri perasaannya. Ia membenarkan kata Aswatama, bahwa Harjuna tidak berhak atas pusaka Gandewa itu. Tetapi bagaimana lagi keputusan sudah dijalankan, dan pusaka telah dibawa Harjuna ke Panggombakan. 

Perasaan bersalah kepada Aswatama itulah yang kemudian ingin ditebus dengan keinginannya untuk membahagiakan anak semata wayang. Melalui ketajaman naluri, Resi Durna mampu melihat bahwasanya semenjak kedatangan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama senantiasa memperlihatkan keceriaannya. Ekalaya, raja besar yang mewarisi kerajaan ayahnya, Prabu Hiranyadanu dari negeri Nisada, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Paranggelung. Melihat sikap Astatama, Sang Resi harus berpikir seribu kali untuk menolak Ekalaya. Karena jika hal itu dilakukan, tentunya Ekalaya dan Anggraeni segera angkat kaki dari bumi Sokalima. Akibatnya, Aswatama akan bersedih dan kecewa. Maka mau tidak mau, demi kebahagiaan anaknya, Durna harus menahan Ekalaya, khususnya Anggraeni, agar Aswatama tidak terpukul hatinya untuk yang ke dua kali. 

Sang Resi sendiri mengakui bahwa Raja Paranggelung serta prameswarinya itu merupakan pasangan yang sempurna. Keduanya tampan dan cantik jelita, ramah, santun, rendah hati dan sangat menghormati sesamanya. Sehingga setiap orang yang berjumpa dan berbincang-bincang dengan mereka akan merasa berharga sebagai manusia. 

Malam itu Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama memenuhi panggilan Sang Resi datang di pendapa induk padepokan. Sembah yang diberikan Ekalaya membuat Durna layak untuk berbesar hati. Lebih-lebih prameswarinya, Anggraeni, yang santun dan selalu memperlihatkan senyumnya, akan membuat siapa saja enggan meninggalkan sapaan lembut yang menyejukkan sanubari.

“Ekalaya, walaupun dalam pengamatanku engkau sudah menampakan kesungguhan berguru kepadaku, untuk saat ini aku belum akan mengangkatmu sebagai murid. Namun jangan berkecil hati, engkau aku beri kesempatan belajar pengetahuan tentang ilmu yang aku ajarkan kepada murid-muridku di Sokalima.”

Bagi Ekalaya, kesempatan yang diberikan oleh Pandita Durna sudah lebih dari cukup. Oleh karenanya Ekalaya berjanji ingin menggunakan kesempatan berharga tersebut dengan sebaik-baiknya.

Sejak awal, Ekalaya yang juga bernama Palgunadi, datang ke Sokalima untuk memperdalam ilmu memanah. Karena bagi Ekalaya, raja Nisada atau Paranggelung, ilmu dan ketrampilan memanah merupakan pelajaran wajib bagi seluruh rakyat di negeri itu. Maka ketika mendengar bahwa di Sokalima diajarkan ilmu memanah tingkat tinggi, Ekalaya berkeinginan memperdalam ilmu memanah kepada Resi Durna, Guru Besar di padepokan Sokalima.

Waktu berjalan cepat, tak terasa sudah hampir setahun Ekalaya belajar kepada Pandita Durna. Tidak peduli dengan predikat murid yang belum didapat, Ekalaya telah menyerap pengetahuan ilmu-ilmu Sokalima, termasuk ilmu memanah. Namun ilmu saja belum cukup, oleh karenanya Ekalaya ingin mempraktekkan ilmu yang didapat dari Pandita Durna, terutama ilmu memanah. 

Suatu malam Ekalaya bermimpi sedang belajar memanah di sebuah taman asri di tengah hutan. Di sudut taman terdapat patung Pandita Durna yang sedang tersenyum, seakan-akan bangga melihat kemampuan muridnya. Bagi Ekalaya, belajar memanah di depan patung Pandita Durna tersebut terasa mendapat energi yang luar biasa sehingga dapat menggugah jiwa dan mengobarkan semangat dalam belajar. 

Sejak mimpi itu, Ekalaya berkeinginan membuat tempat latihan seperti pada gambaran mimpinya tersebut. Dewi Anggraeni, sebagai isteri setia, menyetujui niat suaminya. Aswatama dengan penuh kebaikan melayani segala sesuatu yang dibutuhkan demi kelancaran Ekalaya dalam menuntut ilmu. Sehingga bagi Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mendapat tempat khusus di hati keduanya karena jasa-jasanya. 

Pernah terlintas dibenak Ekalaya dan Anggraeni, kelak jika tugasnya di Sokalima telah selesai, mereka berkeinginan memboyong Aswatama ke Paranggelung untuk diberi kedudukan tinggi sebagai sahabat raja.

Waktu satu tahun selama perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni khususnya, telah mampu menggeser semua sejarah hidup Aswatama yang sudah hampir mendekati 30 tahun. Hidup lama telah diganti hidup baru. Bagi Aswatama, pasangan Ekalaya dan Anggraeni telah mampu mengubah hidupnya secara luar biasa. Aswatama yang semula merasa lebih rendah atau tidak lebih berharga dibandingkan dengan para ksatria Pandhawa, ternyata ia sangat berharga di mata raja besar Paranggelung beserta prameswarinya. Jika selama ini Aswatama tidak percaya diri akan kemampuannya di hadapan orang tuanya, kini mulai menemukan banyak kelebihan dihadapan sang Raja sakti dari negara Nisada. Sungguh ajaib, perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni yang penuh kasih dan rendah hati, membuat hidup Aswatama indah berseri bagai pelangi.

Keindahan malam itu, malam bulan purnama, menjadi semakin indah ketika dari bibir nan lembut indah, mengalun suara kidungan yang merdu menyusup kalbu.

“Anggraeni-Anggraeni, engkau manusia nan sempurna Karena kesempurnaanmu sebagai manusia, engkau bak bidadari yang turun ke dunia. Seperti ia kah ibuku Bidadari Wilutama? 

Ibu, ibu, aku rindu padamu.”

Kidung Malam 24 Aswatama

Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna? 

“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.

Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.

Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia. 

Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya. 

Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.

Malam mulai merambat pagi. Matanya mulai lelah, dan selanjutnya tertidurlah ia. Ketika hari telah berganti pagi, sebelum fajar merekah, Aswatama dikejutkan oleh datangnya sepasang manusia, yang sungguh sempurna sebagai manusia. Dengan ramah mereka datang menghampiri Aswatama untuk menanyakan letaknya padepokan Sokalima. Aswatama tidak segera menjawab. Dipandanginya ke dua orang tersebut secara bergantian, ia sangat terpana dengan wanita yang berada di depannya. Cantik sekali! Seperti inikah Batari Wilutama. 

“Maaf kisanak, dimanakah padepokan Sokalima berada?” Aswatama tersadar. Untuk menutupi rasa malu, ia segera mengantarkan keduanya ke Padepokan Sokalima. 

“Aku bernama Ekalaya seorang raja dari Paranggelung, dan ini adalah isteriku bernama Dewi Anggraeni. Kami berdua datang ke Sokalima untuk berguru kepada Begawan Durna.” 

Berdesir hati Aswatama mendengar bahwa wanita yang cantik jelita bak bidadari tersebut akan berguru kepada bapa Durna. Itu artinya bahwa ia akan sering ketemu. Ah betapa bahagianya. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Rasa sakit hati atas sikap bapanya karena telah mewariskan pusaka Gandewa kepada Harjuna untuk sesaat terlupakan.

Di Padepokan Sokalima Ekalaya dan Anggraeni diterima Pandhita Durna. Sebagai seorang yang berilmu tinggi Pandita Durna dapat menangkap dan merasakan bahwa Ekalaya mempunyai kemampuan yang luar biasa, seperti kemampuan yang dimiliki para dewa. Oleh karenanya jika Durna mau memerima murid istimewa tersebut maka tentunya Durna dapat berharap banyak kepadanya. Namun tidaklah sesederhana itu untuk mengangkat murid baru. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Maka dalam menunggu keputusan Pandita Durna, Ekalaya dan Dewi Anggraeni dipersilakan untuk tinggal sementara di Sokalima. 

Itulah kesempatan yang paling diharapkan Aswatama. Karena dengan demikian ia dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Dewi Anggraeni. Bagi Aswatama kehadiran mereka berdua terlebih Dewi Anggraeni, merupakan magnet yang sangat kuat sehingga mampu menyedot seluruh budi, pikiran yang ada dalam pribadi Aswatama. 

Anggraeni, Anggraeni, mengapa aku menjadi tak berdaya karenamu? Sungguh kecantikanmu melebihi semua wanita yang pernah aku jumpai. Selayaknya engkau tidak hidup di bumi yang kotor dan jelek ini, tetapi hidup di kahyangan yang indah mulia. 

Seperti itukah wajah seorang bidadari?

Seperti itukah ibuku Bidadari Wilutama? 

Jika benar, beruntunglah aku.mempunyai ibu secantik Anggraeni. 

Sepekan berlalu Durna belum memutuskan apakah Ekalaya diangkat murid atau ditolak. Memang pada umumnya seorang Pandita mempunyai kebebasan penuh dalam hal mengangkat murid. Namun apakah kebebasan tersebut masih di perolehnya setelah Durna resmi menjadi guru istana. 

Memang ketika aku diangkat menjadi guru istana, Resi Bisma dan Begawan Abiyasa mengatakan bahwa selama mengajar Para Kurawa dan Pandawa, aku tidak diperkenankan mengangkat murid baru. Tetapi itu dulu. Sekarang secara resmi tugasku telah selesai. Semua ilmu telah aku ajarkan kepada Pandawa dan Kurawa. Walaupun begitu aku masih memberi kesempatan kepada mereka untuk sewaktu-waktu datang di padepokan guna menuntaskan, mematangkan dan mengembangkan ilmu yang telah aku berikan. Dan aku pikir sekarang aku boleh mengangkat murid baru 

Kehadiran Ekalaya dan Anggraeni membuat padepokan Sokalima semarak. Banyak orang datang ingin menghaturkan sembah kepada Raja Paranggelung beserta prameswarinya yang sangat cantik jelita. kepada 

Disore yang indah, ketika matahari segera berangkat ke peraduan, Durna memanggil Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama.

Pandawa Mengamuk Karena Kematian Gatotkaca

Waktu pihak Astina mengetahui bahwa Gatotkaca tewas mereka bersorak bergembira. Sebaliknya pihak Pandawa berkabung. Hampir semua prajurit Pandawa menangis. Semangat tempur mereka hampir lumpuh.

Kemudian secara mendadak dan serentak seluruh Pandawa mengamuk. Prabu Puntadewa sendiri dan Arjuna mengamuk seperti orang mabuk. Ayah Gatotkaca ialah Bima juga mengamuk sambil tangannya sesekali mengusap air mata. Teringat-ingat kembali saat ia dan Gatotkaca kecil bercengkerama di Hutan amarta bersama isterinya Dewi Arimbi.

Puntadewa dan Arjuna juga berpikir tentang hal yang hampir sama, penderitaan mereka di hutan Amarta sempat terhibur dengan kehadiran Gatotkaca kecil, sehingga mereka sudah menganggap Gatotkaca seperti anaknya sendiri.

Gada Bima diputar-putar dengan sangat bertenaga dengan tenaga kemarahan dan kesedihan hatinya, banyak sekali korban di pihak Kurawa bahkan korban tewas dikalangan raja-raja yang berpihak pada Kurawa, adipati serta satria-satria yang berperang di pihak Kurawa.

Pendeta Durna memerintahkan kepada Kurawa agar memperbaiki gelar perang. Satu malam suntuk peperangan berlangsung dengan dahsyatnya dan menguras tenaga, dan baru berhenti ketika mereka sama sama kabur karena kelelahan dan mengantuk.


Dewi Arimbi bakar diri

Tiba-tiba munculah di medan perang yang masih banyak prajurit membereskan senjata yang masih bisa digunakan, Dewi Arimbi istri Bima, ibu dari Gatotkaca. Ia menyatakan ingin mati bakar diri bersama jenasah putranya di medan perang. Arimbi meminta ijin dan berpamitan kepada suaminya Bima, Bima memeluk istrinya dan tak mampu melarang karena dia tahu begitu cintanya Isterinya kepada anaknya Gatotkaca. Setelah itu Dewi Arimbi berpamitan juga dengan Dewi Kunti dan Pendawa lainnya. Begitu mengharukan peristiwa itu.

Setelah semua pandawa merelakan kepergiannya ia mendekati jenasah puteranya, sesampai disitu dia berbaring dan minta segera dibakar bersama puteranya. Bima tak mampu menyaksikan pemandangan itu dan tertunduk sambil berdoa kepada Dewa agar Jiwa mereka diperbolehkan bersemayam dalam damai di Suralaya.


Pendeta Durna menjadi Senapati Kurawa

Keesokan harinya perang dimulai lagi dan kedua belah pihak telah mempersiapkan gelar perang masing-masing. Genderang perang sudah ditabuh dan gelar perang telah dibentuk. Yang menjadi senapati Astina adalah Pendeta Durna. Adapun yang menjadi senapati di pihak Pandawa adalah Raden Drustajumena, putra dari Prabu Drupada, adik Srikandi dan Drupadi, Adik Ipar Puntadewa dan Arjuna. Kedua pihak pasukan telah diperintahkan untuk bergerak untuk maju.

Para prajurit Pendawa diperintahkan oleh Drustajumena agar menyerang Pendeta Durna selaku pimpinan perangnya sehingga apabila mereka berhasil maka Kurawa akan kehilangan semangat dan pada akhirnya akan dapat dengan mudah dikalahkan.

Drustajumena berpikir bahwa Pendeta Durna hanyalah guru yang melatih olah kanuragan dan olah senjata dari Pendawa dan Kurawa pada saat kecil, dan belum tentu sakti. Akan tetapi pikiran itu segera pupus saat dilihatnya Pendeta Durna yang dikeroyok oleh pasukan Pendawa dan dihujani oleh banyak anak panah ternyata tidak terluka sama sekali. "tubuhnya pasti kebal" Pikir Drustajumena.

Esti Aswatama mati

Prabu Kresna yang melihat dari jauh usaha prajurit Pendawa sia-sia untuk mengalahkan Pendeta Durna memanggil Bima untuk mendekat. Tidak jauh dari situ ada seorang raja dari Malawapati dipihak Kurawa yang sedang berperang naik gajah yang bernama Aswatama. Prabu Kresna membisikan perintah kepada Bima agar Bima membunuh gajah Raja itu dan apabila telah berhasil Bima harus berteriak dengan lantang "Aswatama mati! "

Bima yang tidak tahu apa maksud dari Prabu Kresna mengapa dia harus membunuh gajah itu, namun karena Bima percaya bahwa Prabu Kresna adalah pemimpin yang sangat bijaksana, rela menjalankan perintah itu dengan sempurna. Dengan gadanya Rujak Polo dihantamnya Gajah itu, kemudian dihantamnya juga Raja Malawapati yang terjatuh dari Gajah itu, keduanya tewas seketika.

Bima segera berteriak " Aswatama mati!! ". Teriakan itu begitu nyaringnya sehingga semua prajurit mendengar dan berteriak-teriak satu dengan lainnya "Aswatama mati" sambung menyambung, persis ketika Gatotkaca tewas teriakan seperti itu terdengar begitu lantang di pihak Kurawa.

Pendeta Durna yang sedang menghadapi pengeroyoknya mendengar teriakan salah seorang prajurit Pendawa "Aswatama mati!" Sangat terkejut dan menangis. Dewa..! Anaknya yang semata wayang telah mati! Anak yang dibesarkanya sendiri tanpa ibu itu kini telah mati!

Durna mencoba mendekati Bima dan Arjuna dan menanyakan apakah benar anaknya Aswatama telah mati? . Bima dan Arjuna hanya terdiam dan mengangguk.
Pada saat itu Bima baru menyadari ide cemerlang dari Prabu Kresna.

Karena masih kurang percaya pada berita yang didengarnya Pendeta Durna datang ke Prabu Puntadewa, dia tahu bahwa Prabu Puntadewa adalah orang yang tidak pernah berbohong dan tidak akan mau berbohong selama hidupnya, jawabanya pasti dapat dipercaya.

Namun pada saat Bima bergerak akan membunuh Prabu Malawapati dan Gajah Aswatama, Prabu Kresna telah menjelaskan rencananya dan meminta kepada Puntadewa agar berdusta kepada Pendeta Durna pada saat ia bertanya nanti.

Ternyata Prabu Puntadewa menolak untuk berbohong karena selama hidupnya dia tidak pernah berdusta. Akhirnya Prabu Kresna meminta kepada Prabu Puntadewa agar tidak berbohong nanti menjawab dengan kalimat "Esti Aswatama mati" yang artinnya 'Gajah Aswatama mati'. Kemudian Prabu Kresna bersemadi untuk memohon kepada Dewa agar rencananya berhasil.

Pendeta Durna yang terlihat bersedih itu mendatangi Prabu Puntadewa dan bertanya dengan sedihnya apakah benar Aswatama telah mati?. Kemudian Prabu Puntadewa menjawab dengan perlahan "Esti Aswatama mati". Pendeta Durna yang percaya Puntadewa tidak pernah berbohong mendengar jawaban itu bagai disambar petir karena Puntadewa mengatakan "Mesti, Aswatama mati". Pendeta Durna yang sangat sedih jatuh tersungkur pingsan di kereta perangnya. Para Dewa di angkasa bersorak sorai ramai dan mengatakan satu dengan yang lain bahwa Pendeta Durna telah mati.

Prabu Kresna yang melihat Pendeta Durna pingsan segera memberi tanda kepada Pendawa untuk menuntaskannya. Namun tidak satupun Pendawa yang bergerak melaksanakan perintah itu. Mereka masih menghormati Pendeta Durna sebagai guru mereka, sehingga tidak ada yang berani melakukannya.

Melihat Pandawa diam saja, Raden Drustajumena yang saat itu menjadi Senapati perang segera mengambil tindakan, tidak boleh kesempatan ini di sia-siakan. Dia melompat ke kereta perang Pendeta Durna kemudian dengan sekali tebas dipotongnya leher Pendeta Durna dan kepala Pendeta Durna dibuat mainan olehnya , ditendang tendang dan dilempar-lempar karena senangnya ia telah berhasil membunuh Pendeta Durna.

Raden Drustajumena benar-benar lupa bahwa Pendeta Durna atau Bambang Kumbayana adalah masih saudara dengan Ayahnya yaitu Prabu Drupada atau Sucitra. Para Pendawa tidak begitu senang dengan perlakuan Raden Drustajumena itu dan menegurnya. Raden Drustajumena yang ditegur itu merasa malu dan segera melemparkan Kepala Pendeta Durna ke pihak Kurawa.

Ternyata kepalanya jatuh tidak jauh dari Prabu Suyudana sedang duduk, ia sangat terkejut bukan kepalang, bagaimana mungkin guru Kurawa dan Pandawa yang sakti itu dapat dikalahkan??.

Adipati Karna

Beberapa jam sebelum sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.

“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.

“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?

“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.

“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.

Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.

Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.

“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

“Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.

“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.

“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.

Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.

“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.

“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mau, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”

Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.

Gojali Suta

suasana sangat suram. seperti matahari tertutup mendung. seolah sangat sunyi tak ada sama sekali suara mahluk berkutik. suasana inilah yang menjadi perbawa di negeri trajutisna dan suroteleng.

saat itu raja trajutisna prabu sitidja alias boma narakasura merasa sangat sedih dan kecewa. karena istrinya Dewi Hagnyawanawati atau dei Mustikawati tak mau melayaninya sebagai suami. malah sang istri mabok kepayang dengan saudaranya sendiri yaitu raden samba wisnubrata.

susana sangat suram menyelimuti paseban agung. sang raja prabu sitidja cuma diam saja. sedangkan Prabu Supala, patih Pancadnyana, Ditya Maudara, Ditya Ancak Ogra, Ditya Yayahgriwa, Ditya Sinundha cuma bisa ikutan diam sambil memandang kosong ke lantai. mereka sangat takut melihat keadaan rajanya yang sedang bermuram durja. untuk memecah kesunyian maka sang raja prabu sitidja berkata kepada patihnya prabu supala:

"paman supala saya mengadakan pertemuan ini sengaja ingin membhas masalah raden samba dan dhiajeng Hagnyanawati. dua orang itu sudah bener bener kasmaran sampe dhiajeng Hagnyanawati dibawa pulang ke dwarawati. maksud saya daripada didengar orang luar, mending adik saya samba saya nikahkan dengan istri saya dhiajeng Hagnyanawati. lalu saya dudukan di kerajaan trajutisna dengan baik baik"

"sebentar kanjeng prabu, bukankah kelakuan adik baginda samba itu berarti telah berani melakukan tindakan mesum dan berkhianat kepada sang prabu?barani mengambil istri paduka sebagai pacarnya?bukankah itu sama dengan berani menginjak injak kepala sang prabu sendiri"

"tidak apa apa paman, karena samba itu adik saya yang paling saya sayangi. karena itu saya akan mengirim utusan ke dwarawati yaitu maudara dan ancak ogra untuk menghadap ke prabu kresna agar mau mengijinkan membawa samba dan hgnywati untuk saya nikahkan di trajutisna."

kemudian prabu sutidja memberikan perintah kepada maudara dan ancak ogra untuk berangkat ke dwarawati untuk menghadap sri baginda kresna ayahnya untuk menyampaikan keinginan prabu boma narakasura. maka maudara dan ancak ogra segera berangkat.
di paseban agung kerajaan dwarawati. disana sang raja sri baginda raja bhatara kresna sedang berdiskusi dengan patih udawa dan raden setyaki. yang dibicarakan tidak lain adalah kelakuan raden samba yan telah merusak pagar ayu dengan membawa istri saudaranya sendiri untuk dijadikan sebagai kekasih. belum lama pembicaraan berlangsung datanglah ditya maudara dan ancak ogra.

setelah datang dan saling beramah tamah mereka mengatakan tujuan kedatanganya ke pada prabu kresna. lalu prabu bhatara kresna yang sudah mengetahui akan jadi apa lelakon ini mengijinkan raden samba untuk dibawa ke trajutisna. maka ditya maudara dan ancak ogra segera pamit dengan membawa raden samba ke trajutisna.

setelah kedua utusan pamit, setyaki maju menghadap bhatara kresna dan matur:
" kakanda prabu kenapa kakanda ijinkan mereka membawa raden samba?iya jika kedua utusan tadi berkata benar, bagaimana jika mereka berbohong dan ingkar janji?di sana nantinya raden samba bukan akan dinikahkan mlah akan dihukum?bagaimana kakanda prabu"

"wahai adiku setyaki, janagn berpikiran seperti itu. ingat semua itu sudah diatur takdir. walopun digedong baja sekalipun, jika sudah saatnya mati pasti terjadi. walopun dihujani tembakan peluru pun jika masih belom waktunya pasti kan selamat. adi setyaki jangan ikut campur, biarkan saja samba mau diapkan saja. yang jelas jangan sampe sitidja melawan dan melibatkan orang yang tanpa dosa!!. jika itu dilakukan apalagi melawan adi arjuna maka aku sendiri yang akan menghadapi sitidja anaku. sekarang adi setyaki bubarkan paseban pertemuan ini. saya mau tidur dan menenangkan hati"

diceritakan smapelah rombongan ditya maudara dan ancak ogra yang mengiring jaka samba ditengah hutan. disana 2 rksasa ini gak menerima kelakuan jka samba yang mengambil istri baginda rajanya. maka mereka berdua menyiksa jaka samba. sehingga jaka samba menjerit kesakitan. kebetulan saat itu datanglah arjuna yang kan menuju kerajaan dwarawati. kaget hati arjuna mendengar jeritan dari raden samba.

karena kaget maka arjuna segera bertanya dan mencegat rombongan itu:
"kalo ga salah ini maudara dan samba. kenapa ini kok badan samba biru biru seperti ini?dan kalian hendak pergi kemana?"

maudara menjawab:
"kalo raden arjuna bertanya maka sebenarnya saya dan ancak ogra menjalankan perintah kanjeng gusti sitidja untuk membawa anak mas raden samba ke trajutisna untuk di nikahkan dengan dewi hagnyawati. nah kenapa badan raden samba biru biru?karena kena duri dan onak di dalam hutan"

"apa benar seperti itu samba" tanya arjuna tidak percaya kepada samba.

"aduh paman itu tak benar, kenapa saya babak belur begini karena saya sebenernya digebuki oleh paman maudara dan ancak ogra"

karena marah maka maudara di tusuk oleh raden arjuna dengan pusaka pulanggeni hingga tewas dan balik ke asalnya yaitu bangkai burung dara. sementara ancak ogra diberikan surat tantangan yg ditulis arjuna untuk sitidja. karena temen seperjalananya tewas segera ancak ogra berlaripulang ke trajutisna. sementara raden samba dan dewi hagnywati untuk sementara waktu dipersilahkan menginap di kasatrian madukoro.

di kerajaan trajutisna sedang duduk prabu sitdja diatas singgasana dengan menhadap para bawahanya. tiba tiba datanglah ancak ogra dengan ngos ngosan dan berdarah darah. prabu sitidja sangat marah membaca surat tantangan. dan langsung menyerang madukoro. prabu sitidja naik diatas garuda wilmuna sementara semua prajuritnya berbaris didaratan.

tetapi sebelum tanding dengan arjuna prabu sitidja hendak mencari terlebih dahulu dimana raden samba yang menjadi pnyebab kejadian perkara ini. sementara perang pun pecah. baladewa, arjuna, setyaki, gatotkaca berperang melawan wadya bala dr trajutisna. perang besar pun pecah di madukoro.

diluar terjadi perang besar sementara di dalamkesatrin madukoro 2 muda mudi sedang bermadu asmara. yaitu raden samba dan dewi hagnywati. mereka berdua mabuk asmara bercumbu dan juga berpeluk peluk. apalagi raden samba merasa pamanya arjuna merestui dan melindungi dirinya. karena sedang asyik masyuk tak merasa ada endung yang tiba. itulah garuda wiluma yang segera turun. dan kagetlah raden samba melihat turunya garuda yang ditunggangi kakanya sitidja. segera raden samba tergopoh gopoh menghaturkan sembah.

"sembah saya kepada kakanda prabu, saya tak menyangka kakanda prabu sendiri yang akan datang kemari. mohon kakanda prabu mau memaafkan segla kesalahan hamba"

prabu seitidja berkata
"iya adiku, sebenarnya aku kesini akan marah kepada di samba, tp melihat adi seperti ini seolah hilang kemarahanku. sudahlah bukan watak trajutisna untuk marah cuma gara gara wanita"

ketika naik kembali ke garuda prabu sitidja mendengar omongan togog yang berkata:
"bagaimana sih ndoro?bukankah ndoro itu hendak marah dan menjatuhkan hukuman kepada samba yang telah merebut istri paduka?kenapa jadinya ketika sudah ketemu orangnya malah batal begini?"

lalu tanpa peringatan karena sangat marah dari atas garuda prabu sitidja melemparkan senjata limpung ke arah raden samba.sehingga lukanya sekujur tubuh. kemudian mengingat perang trajutisna dan madukoro terjadi karena samba plus melihat banyaknya mayat bergelimpangan. kemarahan prabu sitidja semakin membara. di hancurkanya tubuh samba. di robek mulutnya, dihancurkan hidungnya, tanganya dipatah dan dipuntir, lalu mayatnya dijuwing juwing. melihat keadaan ini dewi hagnywati menghunus patrem dan menusukan ke tubuhnya. ikut belapati.

sesudah itu prabu sitidja mengambil sisa mayat samba dan dilemparkan ke medan perang. dan sang prabu menaiki garuda untuk mengejar jatuhnya mayat. di medan perang para pandawa merasa sangat marah karena merasa tak mampu menjaga kselamatan raden samba. arjuna segera membidikan panahkyai sarotama yang di lepaskan ke leher prabu supala. dan tewaslah seketika prabu supala.

sementara patih pancatnyana di gemplang senjata neggala oleh bladewa dan tewas seketika. semua wadyabala trajutisna mulai habis di bantai oleh gatokaca dan werkudoro serta setyaki. mengetahui ini segera prabu sitidja maju perang. terjadi perang dahsyat antara arjuna dan prabu sitidja. tetapi prabu sitidja punya ajian pancasona. mati 7 kali sehari bisa hidup kembali. jd tak ada guna. ahirnya arjuna memilih keluar dr perang dan bertapa lg dengan nama benggawan cipto ening

karena malu arjuna keluar dr perang dan memilih betapa menjadi begawan cipto ening. mengetahui keluarnya arjuna maka para pndawa segera mencari bantuan sri bhatara kresna. malah sri bhatara kresna tidur tak bisa dibangunkan. bahkan diceritakan anaknya samba mati dijuwing juga tak bangun. sri bhatara kresna hanya bangun ketika diceritakan arjuna merasa malu dan keluar serta menghilang dr perang. rupanya sri bhatara kresna mengunjungi ibunyi sitidja yaitu dewi pratiwi di kayangan sapta pratala. di sana bhatara kresna menanyakan apa kelemahan sitidja. dei pratiwi menceritakan:

"sitidja punya aji pancasona tak akan mati selama masih menyentuh tanah. nah kelemahanya adalah sebuah anjang anjang besi. dalam episode topeng waja terjadi perkelahian antara sutedja dan gatotkaca. dimana topeng waja gatot di gemplang oleh senjata gamparan kencana milik sutedja lalu terjadi salah kedaden. ahirnya topeng itu berubah wujud jd anjang anjang besi di alas pramonokoti daerah pringgondani. itu pengapesan dr anak saya sitidja"

ketika bngun prabu kresna segera bilang kepada gatotkaca:
"jika nanti mayat saudaramu sitidja jatuh, segera bawa kabur ke alas pramonokoti dan baringkan di anjang anjang besi"

"baik paman prabu" kata gatotkaca

kemudian sitidja yang sedang menaiki garuda wiluma sedang terbang berputran di arena perang dilepasi senjata chakra oleh sri kresna. ahirnya tubuhnya terbelah dan jatuh kebumi lalu segera dibawa terbang oleh gatotkaca ke alas pramonoti dan diletakan di anjang anjang besi. sehingga matilah sitidja karena tak menyentuh tanah. maka berahirlah kisah perang gojali suta ini.

HTML Comment Box is loading comments...