Teman

free counters

Kidung Malam (12) Batari Kuda Bersayap

Isyarat kuda bersayap itu jelas, aku diminta duduk di punggungnya.

Aku coba menuruti keinginannya. Siapa tahu aku diterbangkan ke tanah Jawa.

Sejenak setelah duduk dipunggungnya, sayapnya digepakan, ia terbang melintas samodra. Aku terkejut, berpegang lehernya erat-erat, takut akan jatuh. Kuda Bersayap mengurangi kecepatan. Ia tahu, aku ketakutan.

Beberapa waktu kemudian, aku mulai tenang, dan berani menebarkan pandangan. Oh betapa indahnya pemandangan di atas awan.

Mega berarak laksana kapas putih terbang ditiup seribu bidadari jelita. Air laut bagaikan beludru biru, selimut para Dewa.

Dari kejauhan aku melihat daratan. Itulah tanah Jawa, tempat Begawan Abiyasa tinggal. Semakin dekat tampaklah, bahwa daratan itu sangat subur.

Tanpa aku perintah, Kuda bersayap mulai merendahkan terbangnya, dan mendarat dengan lembut di tanah Jawa.

Benar-benar aneh, ia tahu tujuanku.

Aku heran dengan kejadian yang baru saja aku alami. Apakah aku sedang bermimpi? Tidak! Ini alam nyata. Aku telah berdiri di tanah Jawa. Dan kuda bersayap itu telah menolongku. Tampaknya Kuda bersayap itu tidak peduli.bahwa aku masih keheranan, ia berjalan meninggalkan aku.

Beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan menoleh kepadaku.

Aku mulai mengerti isyaratnya, bahwa aku diminta mengikutinya. Aku penasaran, akan ku ikuti ke mana ia melangkah. Apa yang diinginkannya?

Ku perhatikan dari belakang, langkahnya gemulai, bak putri raja. Ooh! kuda itu betina

Tidak lama kemudian kami sampai di tengah taman aneka bunga indah. Tempat ini sangat romantis. Siapa pun orangnya akan merasa nyaman berada di tempat ini, terutama bagi sepasang remaja.

Ah jika aku ditemani seorang bidadari, alangkah bahagianya.

Aku dapat memadu kasih sepuasnya tanpa ada yang menggangu.

Selagi aku mengkhayal layaknya seorang jejaka yang kesepian, mulut kuda betina menyentuh punggung tanganku dengan lembut. Aku terkejut. Kutarik tanganku cepat-cepat. Kuda betina kecewa dengan perlakuanku. Dari sorot matanya tampak kesedihan itu. Aku menyesal telah melakukannya dengan kasar. Seharusnya aku elus-elus dahinya, seperti yang aku lakukan terhadap kuda-kudaku di Hargajembangan.

Aku dekati kuda bersayap tersebut. Aku elus dahinya, kepalanya dan lehernya dengan lembut. Matanya yang sedih menjadi berbinar penuh kebahagiaan.

Hari-hari berlalu tanpa ada niatan meninggalkan tempat itu. Aku semakin akrab dengannya.

Pada suatu malam antara sadar dan mimpi, di sebuah taman bunga nan elok indah, sayup-sayup terdengar suara kidung malam yang menghanyutkan. Ada suasana romantis, sakral, agung berbaur menjadi satu. Aku tidak dapat menceritakannya dalam wujud kata-kata keelokan malam itu. Di tempat tersebut, aku bertemu dengan seorang batari jelita, Wilutama namanya. Kami berdua saling mencurahkan kasih.

Kasih antara sepasang pria dan wanita.yang jatuh cinta.

Kasih antara suami dan istri.

Ketika kami puas meneguk kenikmatan.

Aku tersadar. Tidak jauh dariku, mata kuda bersayap itu menatapku.

Berdesir hatiku melihat sorot matanya. Benarkah sorot mata Batari Wilutama?

Apa yang terjadi dengan diriku dan Kuda bersayap?

Aneh, gaib, penuh misteri.

Semenjak peristiwa tersebut, aku semakin menyayangi Kuda bersayap. Karena di dalam sorot matanya aku diingatkan kepada Sang Batari Wilutama.

Tanpa pernah aku tahu kapan mengandungnya. Tiba-tiba secara ajaib kuda bersayap itu melahirkan seorang bayi, wajahnya mirip aku.

Anakku kah ini?

"Benar. Itu anak kita."

Aku terkejut mendengar suara lembut merdu.

Astaga! Batari Wilutama? Mimpikah aku?

"Akulah Kuda bersayap itu. Bertahun-tahun aku menjalani kutukan dewa. Aku akan pulih menjadi Batari, jika dapat melahirkan manusia. Pertemuan kita merupakan akhir penantianku yang panjang. Aku menjadi bathari seperti semula."

"Wilutama, aku mencintaimu. Kita akan membangun rumah tangga yang tentram damai, untuk bersama-sama mendampingi anak kita." Maafkan kakang, kita tidak mungkin bersatu. Aku segera kembali ke kahyangan. Karena jika tidak, pasti aku mendapat hukuman yang lebih berat."

"Mengapa pertemuan kita hanya sekejap, seperti mimpi?

"Sesungguhnya, hidup ini adalah sebuah mimpi. Memang hanya sekejap, namun sangat berarti. Pertemuan ini telah melahirkan sejarah baru, Seorang bayi buah cinta kita. Namakan ia Aswatama. Jika ada kesulitan dengan anak ini, sebut namaku dan aku akan menolong."

"Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?"

Terimalah tusuk konde ini, sebagai tanda cintaku. Jika engkau rindu padaku kecuplah benda ini, maka rindumu akan terpuaskan."

Sekejap kemudian, setelah aku terima benda pusaka pemberiannya, Batari Wilutama lenyap secara gaib.

Sedih, kecewa, menyesal bercampur menjadi satu.

Sang Batari telah merampas cintaku.

Sebagai jejaka belia aku tak kuasa menanggungnya.

Apakah aku kuwalat terhadap orang tua?

Oh Aswatama, menangislah keras-keras agar ibumu mengurungkan niatnya meninggalkan kita.

Aku berteriak keras, Wilutamaaa…!

Aku gendong anakku, aku kudang sepanjang jalan .

Kidung Malam (11) Pergi ke Tanah Jawa

Perasaan takut menyelinap di dalam hatiku, setelah keris Pulanggeni berada di tangan Sucitra dan segera akan dikembalikan pemiliknya di Tanah Jawa. "Rama Prabu, kalau boleh, keris Pulanggeni jangan dikembalikan terlebih dahulu, aku sangat membutuhkannya sebagai ‘sipat kandel’ menjadi raja."

"Kumbayana, pengembalian pusaka tidak mungkin untuk ditunda. Aku sudah berjanji kepada Bapa Guru Abiyasa, jika Hargajembangan telah menjadi besar, keris Pulanggeni segera aku kembalikan. Tidakkah engkau melihatnya sekarang? Bumi Atasangin telah menjadi satu di bawah Hargajembangan. Engkau tinggal memelihara dan mempertahan-kan kebesaran negeri ini."

"Ampun Ramanda Prabu, memelihara dan mempertahankan lebih berat dari pada merintis dan membangun."

"Kumbayana, memelihara dan mempertahankan memang butuh kesabaran dan welas asih. Hal itu bukan berarti lebih berat dibandingkan dengan merintis dan membangun. Baik itu membangun atau pun memelihara, keduanya mempunyai kesulitannya masing-masing. Namun yang lebih penting bahwa engkau jangan salah mendudukan pusaka dalam hidupmu! Untuk menjadi raja yang terutama adalah ilmu dan kesiapan lahir batin.

"Ampun Ramanda, jika Ramanda telah mengambil tuah dari pusaka Pulanggeni untuk merintis dan membangun, apa salahnya aku menginginkan Pulanggeni untuk memelihara negri yang Ramanda wariskan."

"Kumbayana, ada hal yang belum kau mengerti, bahwa Bapa Guru Abiyasa memberikan pusaka Pulanggeni untuk mengangkat wibawa, menebarkan rasa segan dan takut bagi yang berniat jahat dan membahayakan kelangsungan Hargajembangan. Karena dengan demikian orang akan mudah ditundukan dan diatur. Bukanlah hal tersebut telah terbukti? Namun sekarang, para raja Bumi Atasangin telah tunduk kepada kita. Mereka bukan musuh kita lagi. Mereka adalah sahabat-sahabat yang bersama-sama dengan Hargajembangan menjaga keutuhan Bumi Atasangin. Apakah engkau tega menebar rasa takut kepada para sahabat kita?"

"Jika demikian Ramanda, biarlah aku yang mengembalikan Keris Pulanggeni ke tanah Jawa, siapa tahu karena kebaikan Begawan Abiyasa, aku diberi pinjaman pusaka sekelas Pulanggeni untuk kepentingan yang berbeda, yaitu menjaga kebesaran Hargajembangan dan persatuan Bumi Atasangin.

"Kumbayana, perjalanan ke Tanah Jawa membutuhkan waktu yang tidak pendek, terlebih letak Padepokan Saptaarga yang berada di puncak gunung ke tujuh, tidak cukup ditempuh selama satu bulan. Itu artinya engkau akan membuang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mempersiapkan dirimu menjadi raja?"

Rama Prabu Baratwaja bergeming pada perintah semula, pengembalian keris Pulanggeni dipercayakan Sucitra.

Pada hari yang disepakati, pagi-pagi benar, Sucitra membawa Keris Pulanggeni, meninggalkan Hargajembangan. Firasatku mengatakan bahwa wahyu keraton telah hilang dari Bumi Atasangin. Kewibawaan Hargajembangan akan menjadi surut. Raja-raja di Bumi Atasangin yang selama ini tunduk kepada Hargajembangan akan berontak, dan yang terkuat akan menguasai Hargajembangan.

Aku menjadi takut dinobatkan, dan tidak mau menjadi raja sebelum mendapat pusaka sekelas Pulanggeni.

Maka aku berniat meninggalkan tanah tumpah darahku, Negara Hargajembangan di bumi Atasangin.

Aku pamit melalui selembar surat.

"Ramanda Prabu yang aku hormati,

Ketika Pulanggeni dibawa pergi Sucitra, ada sesuatu yang lepas dari Negara Hargajembangan. Oleh karena itu Ramanda dengan terpaksa aku meninggalkan Bumi Atasangin untuk mencari pusaka pengganti Pulanggeni di tanah Jawa.

Jika aku ditakdirkan menjadi raja, kelak aku pasti akan kembali di Bumi Atasangin. Maafkan Ramanda Prabu dan selamat tinggal."

Putranda yang durhaka
Kumbayana

Pada tengah malam aku tinggalkan Bumi Atasangin. Niatku pergi ke tanah Jawa, menemui Begawan Abiyasa.

Semakin jauh Negara Hargajembangan aku tinggalkan, semakin sedih rasanya.

Tidak terasa kedua pipiku basah oleh airmata. Berat juga berpisah dengan Ibunda Ratu dan Ramanda Prabu, yang sejak kecil mengasuh, mendidik dan mencintaiku.

Perjalanku terhenti di tepi Samodra. Suasana hening sepi. Berhadapan samodra luas, disertai deburan ombak besar bergulung susul menyusul, kesaktianku tidak berarti.

Apakah adikku Sucitra menyeberangi samodra ini? Bagaimana caranya?

Bagaimana aku dapat sampai ke tanah Jawa? Oh Dewa tolonglah aku.

Hanya Dewalah yang dapat menolong.

Jika Orang, pasti keturunan Dewa.

Namun jika binatang, tentu kendaraan Dewa.

Kalaupun ada yang dapat menolongku, jika wanita akan aku peristri, jika laki-laki, aku angkat menjadi sahabat.

Tiba-tiba di angkasa ada benda putih terbang menuju tempat aku berdiri.

Semakin dekat, semakin jelas. Seekor Kuda Bersayap!

Binatang yang hanya aku kenal dalam dongeng tersebut, mendarat tepat di depanku.

Ke empat kakinya ditekuk, sayapnya dikibas-kibaskan, ia memberi isyarat dengan kepalanya agar aku duduk di punggungnya.

Apakah binatang ini dikirim dewa untuk menolong aku? Menyeberangkan aku ke tanah Jawa? Tanpa pikir panjang, aku naik di punggungnya.

Tiba-tiba sayapnya dikepakan.

Aku dibawa terbang. Tinggi dan semakin tinggi.

Kidung Malam (10) Kumbayana

Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. "Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu" 

Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. "Namaku Sengkuni, patih Hastinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana."

Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran Hastinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. "Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku."

Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. "Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!"

"Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!"

Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.

Siapakah sesungguhnya orang sakti itu? Ia menuturkan riwayatnya kepada Pandawa Lima sebelum mengajarkan ilmu di Padepokan tempat tinggalnya.

Namaku Durna atau Kumbayana, artinya bejana air. Nama itu dipilih untuk mengingatkan peristiwa kelahiranku. Ketika ayahku bertapa, ia tergoda oleh seorang bidadari bernama Dewi Grahitawati, yang sedang mandi di telaga. Karena tidak kuasa menahan nafsu, maka air kama ayah jatuh ke telaga. Air kama itulah kemudian di tempatkan di dalam bejana air yang kemudian menjadi anak manusia, dan diberi nama Kumbayana.

Ayahku adalah raja di Hargajembangan, bernama Prabu Baratwaja. Sebagai anak tertua, aku disiapkan menjadi raja. Semula Hargajembangan merupakan kerajaan kecil, namun semenjak Rama Baratwaja menyimpan keris Pulanggeni pinjaman Begawan Abiyasa, guru Ramanda dari tanah Jawa, Hargajembangan menjadi sebuah negara besar. Kerajaan-kerajaan di bumi Atasangin tunduk kepada Hargajembangan. Aku tahu bahwa Ramanda Prabu berilmu hebat, namun menurutku kebesaran tahta Hargajembangan bukan karena kehebatan ramanda, melainkan karena kesaktian Pulanggeni. Bagaimana jadinya jika tanpa Pulanggeni? Apakah negara-negara Bumi Atasangin masih tetap tunduk dibawah Hargajembangan? Jika tiba saatnya nanti aku menggantikan Ramanda dengan Pulanggeni, tentunya akupun dapat menjadi raja besar. Tetapi aku heran, mengapa Begawan Abiyasa membiarkan keris Pulanggeni bertahun-tahun berada di Hargajembangan? Apakah di padepokannya masih tersimpan puluhan pusaka sekelas Pulanggeni. Betapa beruntungnya jika aku dapat bertemu dan berguru kepadanya.

Sore itu, Hargajembangan memamerkan ke kesuburannya. Tanaman padi umur lima pekan menghampar hijau bak permadani menyelimuti sebagian besar bumi Hargajembangan. Hingga sore merambat malam, para petani enggan beranjak, sebelum mereka mendengar gemericiknya air mengaliri tanamannya. Karena bagi mereka suara gemericik dari ujung petak sawahnya bagaikan kidung malam yang menghantar ke tempat peraduan, untuk berbaring tidur dalam kelegaan.

Jauh dipusat Kota, di malam itu juga, Ramanda Prabu memanggil aku dan adikku Sucitra. Rupanya ada hal yang begitu penting. Aku berdebar menghadapnya.

"Kumbayana, karena usia yang mendekati senja, kesehatanku semakin menurun, dan gampang lelah. Pada siapa lagi tahta kuserahkan, kalau bukan padamu. Oleh karenanya matangkanlah ilmumu untuk bekal menjadi raja."

"Kapan Ramanda?"

"Lebih cepat lebih baik."

Inilah saat yang kutunggu Dengan Pulanggeni aku akan menjadi raja besar, menguasai raja-raja di Bumi Atasangin. Namun belum reda getar suka-citaku, Ramanda Prabu mengambil keris Pulanggeni dan menyerahkannya kepada Sucitra "Kembalikan keris ini kepada Bapa Guru Abiyasa dan mohon doa restunya untuk penobatan Kumbayana." Debar suka citaku berhenti seketika. Menyusul keringat dingin ketakutan.

Kidung Malam (9) Murid Pilihan

Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal. 

Di pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga Tala.” Betapa senang hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.

Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis. “Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi dengan adil.” Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu muslihat yang kotor. “Aku tidak mau! biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka.”

Bimasena dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat darinya. Sesampainya di bibir sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. “Apa yang kalian inginkan dariku?” “Ambilkan benda itu untuk kami!.” Teriak para Kurawa. “Baiklah! Lihatlah!” Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.

Orang asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para Kurawa. “Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya.” Dalam hati mereka bertanya-tanya. siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari tangan orang asing tersebut.

Sementara itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya. Harjuna bersimpuh menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap: “Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha guru.” Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena.. “Siapa namamu bocah bagus?” “Nama hamba Harjuna” “Dan kau bocah gagah perkasa?” “Bimasena” “Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat menjadi muridku”

Kidung Malam (8) Cupu Bercahaya

Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka, Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.

Sementara itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala, bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.

Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan dari serangan segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul mereka.

Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak “Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!” Dursasana segera bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih Sengkuni.

Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. tenaganya semakin menyusut. Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.

Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara Hastinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut

Malam merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursana tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat mereka inging merobek malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat itu, hampir bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.

Kidung Malam (7) REBUTAN LENGA TALA

Gajahoya nama hutan yang kemudian dibuka oleh Palasara menjadi Negara Hastinapura, diyakini bahwa sebelumnya kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan besar yang bernama Gajahoya atau Limanbenawi. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, negara Gajah Oya hilang tak berbekas. Kecuali beberapa situs yang ditemukan seperti misalnya batu ompak dan batu fondasi. Lebih dikuatkan lagi adanya peristiwa mistis dari beberapa orang yang tinggal disekitar hutan, termasuk juga Palasara. Mereka sering ditemui oleh orang tua bermahkota yang mengaku bernama Prabu Hasti. Hasti artinya Gajah, Liman juga berarti Gajah. Orang kemudian menghubungkan dengan nama Gajahoya atau Limanbenawi sebagai nama negara yang diperintah oleh Prabu Hasti. Jika kemudian Palasara membuka hutan Gajahoya dan menjadikannya sebuah keraton, artinya bahwa Palasara.memunculkan kembali sebuah keraton yang telah tenggelam. Sedangkan nama Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonya Prabu Hasti, yang besar kuat laksana gajah.

Jika demikian gajah Antisura tidak bisa lepas dengan Hastinapura. maka tidak selayaknya jika Semar menghentikan langkahnya, ketika Gajah Antisura akan membawa Puntadewa dan Arjuna menuju Hastinapura. “Sesungguhnya aku tidak melarang Gajah Antisura kembali ke Hastinapura, namun dikarenakan Puntadewa dan Arjuna ada dipunggungnya, itulah yang akan menjadi masalah besar.” Belum waktunya mereka masuk ke Hastinapura. karena saat ini Pandhawa baru dalam pengusiran ke luar keraton.” Yamawidura membenarkan apa yang dikatakan Semar. Walaupun begitu ia menginginkan secepatnya Gajah Antisura kembali ke Gajahan keraton Hastinapura. Tidak menunda waktu, Semar bersama dengan beberapa srati gajah menuntun Gajah Antisura melangkahkan kakinya ke Bumi Hastinapura.

Destarastra tidak begitu senang dengan kembalinya gajah Antisura karena dahulu menolak untuk mengangkat di atas dampar pusaka. Namun tidak demikian dengan Patih Sengkuni. Karena Ia mempunyai rencana agar Gajah Antisura pada saatnya mau mengangkat Duryudana duduk di atas singgasana, karena dengan demikian semakin kuatlah pengakuan rakyat Hastinapura.

Seperti biasanya, pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.

Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.

Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”

Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”

Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.

Kidung Malam (6) Tradisi “JUMENENGAN”

Berita munculnya seekor gajah ramai dibicarakan. Banyak diantara para kawula Panggombakan datang ke Kasatrian, untuk melihat Gajah yang menggemparkan itu. Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut mereka. Dari manakah gajah itu? milik siapa? Mengapa ia memperlakukan Puntadewa dan Harjuna bagaikan raja? 

Seperti yang dilihat banyak orang, bahwa Gajah itu sangat patuh kepada Semar, maka dapat dipastikan bahwa Semar mengetahui asal usul dan sejarahnya. Dan karena itulah maka pada keesok harinya, Semar secara khusus menceritakan kepada orang-orang yang berkumpul di pendopo peri hal asal-usul Gajah tersebut. “Pada suatu malam, ketika Palasara bertapa di hutan Gajahoya, ia bermimpi bertemu seorang kakek tua bermahkota, begitulah Semar mengawali ceritanya. Kakek bermahkota tersebut mengaku bernama Prabu Hasti yang artinya Gajah. Ia menunjukkan sebuah dampar kayu berwarna hitam bercahaya. Dengan tersenyum ia berkata. “Aku akan membatumu untuk menjadi raja menduduki dampar ini” Palasara tertegun dengan mimpi itu. Sebagai seorang pertapa, bayangan menjadi raja jauh dari pikirannya. Apakah aku akan menjadi raja, duduk di sebuah dampar hitam bercahaya seperti di dalam mimpiku kakang Semar?

“Aku merasakan bahwa mimpi Raden akan menjadi kenyataan, walau hanya sekejap.” “Dimanakah aku mendapatkan dampar itu?” “Dampar itu ada di sekitar hutan ini.

Oleh karena mimpinya, Raden Palasara menyetujui ketika beberapa pengikutnya dan Semar mencoba membuka sebagian dari hutan Gajah Oya untuk membangun keraton. Pada saat pembangunan hampir selesai, mereka menemukan sebuah pohon hitam. Dikatakan pohon hitam, karena batang dan daunnya berwarna hitam legam. “Inikah dampar itu?” Saya menggangguk pelan. Ketika kami akan menebang pohon hitam tersebut, ada seekor gajah besar tiba-tiba muncul dan menghalangi niat kami. Palasara memerintahkan pengikutnya untuk mundur, ia sendiri yang mendekati Gajah tersebut. Dengan penuh hormat Palasara memohon. “Bolehkah pohon itu kami tebang untuk membuat dhampar?” Sungguh aneh, Gajah itu mengangguk hormat. Ia tahu apa yang dimaksudkan Raden Palasara. Maka penebangan pohon hitam dimulai. Tanpa diperintah, Gajah itu membantu merobohkannya. Tepat pada saat selesaianya pembangunan keraton, dhampar pun jadilah. Para pengikut Raden Palasara bersukacita. Hidup Palasara! Hidup Sang Raja! Hari penobatanpun dipilih. Tempat penobatan raja dihias meriah. tak terkecuali dampar tempat calon raja. Ketika segala sesuatu telah siap dan waktu yang ditentukan tiba, Raden Palasara memakai busana kebesaran atau busana raja diiringi para pengikutnya berjalan pelan menuju dampar pusaka. Suasana sungguh hening. Para kawula yang sejak awal membantu proses pembuatan keraton menanti-nanti saat seperti ini. Mereka tidak merelakan sedikitpun matanya berkedip, karena hal tersebut akan melewatkan detik-detik peristiwa langka, penobatan seorang raja. Pada saat segalanya hening, heneng, henung, jagad raya diam sekejap, tiba-tiba ada suara memecah menggelegar, yang berasal dari Gajah besar bergading panjang. Semua mata diarahkan ke padanya. Ia dengan tenang melangkah mendekati Palasara. dan secara mengejutkan belalainya yang kokoh menyambar, mengangkat dan membawanya untuk didudukan di atas dampar pusaka. Para kawula terkesiap. Sekejap darah di tubuh mereka bagaikan berhenti mengalir. Beberapa saat kemudian baru mereka sadar bahwa penobatan raja telah selesai. Palasara duduk diatas dampar pusaka dengan agungnya. Dampar kayu hitam tersebut bercahaya memenuhi ruangan. Para kawula bertepuk tangan penuh syukur. Raja baru telah dinobatkan dengan gelar Prabu Dipakiswara. Beliau raja menamakan negaranya Hastinapura. Sejenak kemudian perhatian para kawula yang hadir beralih pada Gajah yang baru saja mendudukkan Palasara di atas dhampar. Dengan lucunya Gajah itu menyembah hormat. Melihat tingkah laku Gajah yang mencoba bersikap seperti kawula terhadap rajanya, Sang Prabu Dipakiswara teringat kepada Prabu Hasti, orang tua bermahkota yang menjumpai dalam mimpinya yang berjanji akan membantunya menjadi raja. Apakah ada hubungannya antara Prabu Hasti dan Gajah ini? Gajah misterius itu diberi nama Antisura.

Pengangkatan calon raja oleh Gajah Antisura menjadi tradisi Jumenengan di Hastinapura. Sang pewaris tahta dikatakan sah jika ia didudukkan di atas dampar pusaka oleh Gajah Antisura. Karena hanya orang yang diangkat dan didudukkan oleh Gajah Antisura yang kuat duduk di atas dampar pusaka. Para pengganti Palasara secara berurutan, yaitu Prabu Sentanu, Abiyasa dan Pandudewanata juga di dudukan oleh gajah Antisura.

Pada waktu Pandu meninggalkan keraton dan menitipkan keraton kepada Destarastra, Antisura tidak mau mengangkat Destarastra ke dampar pusaka. Karena dipaksa oleh Patih Sengkuni, Gajah Antisura lari meninggalkan Hastinapura. “Kaka Prabu Destarastra, kita hilangkan saja tradisi jumenengan yang melibatkan Gajah Antisura. Karena pada kenyataannya Antisura tidak mau mengangkat Kakanda Prabu ke dampar pusaka.” kata Patih Sengkuni kepada Destarastra. Namun sungguh aneh, ketika Destarastra mencoba sendiri duduk di atas dampar pusaka, ia terlempar. Berkali-kali dicoba, Destarastra terlempar. Maka atas saran Patih Sengkuni dhampar pusaka yang berwarna hitam bercahaya itu disingkirkan, dan diganti dengan dhampar buatan baru yang lebih mewah dan indah.

Beberapa tahun telah berlalu, orang telah mulai melupakan sosok Gajah keramat yang selalu hadir dalam upacara jumenengan dan kirab-kirab agung raja. “Tetapi mengapa gajah Antisura tiba-tiba muncul di Panggombakan dan mengangkat Puntadewa dan Arjuna”

“Saya tidak tahu persis ke mana Gajah Antisura itu pergi menyusul penobatan Destarastra, meninggalkan Hastinapura. Menurut dugaanku, ia mencari Pandudewanata untuk dibawa kembali dan didudukkan di Dampar Pusaka. Namun tidak pernah ketemu, karena Prabu Pandu telah wafat. Maka ketika ia bertemu dengan anak-anak Pandudewanata, ia mengangkat Puntadewa dan Harjuna, yang dianggap sebagai pewaris tahta yang sah.” Demikianlah semar mengakhiri ceritanya sosok Gajah Antisura.

Kidung Malam (5) Gajah Misterius

Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian, Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera. 

Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian. Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung dengan sukacita.

Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang. Prinsip hidupnya adalah ‘urip samadya, ora ngaya’ Yang didambakan adalah hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal di kasatrian Panggombakan

Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan pengkhianat. Namun bagaimana caranya?

“Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan.”

“Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan semakin ragu untuk bertindak.” “Orang canggung akan tersandung, orang ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati. Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan.”

“Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura.”

“Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli apa yang kita kerjakan”

“Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodhoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?

“Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe. Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya, mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!”

Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur, rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan Negara Hastinapura yang lebih baik.

Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya. Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat. Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari mengangkat belalainya. Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui, semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.

Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.

“He he, berhenti!”

Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran menyaksikan peristiwa itu.

“Ayo kembali! Cepat!”

Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian Panggombakan.

Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya. Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.

Kidung Malam (4) Awal Sebuah Pertikaian

Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.

“Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”

“Eyang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu.”

“Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”

“Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”

“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat onar di beteng jero ini”

“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.

Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.

Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.

“Huaa ha ha...! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa ...” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”

Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.

“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”

“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan.”

“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”

“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”

Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”

Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.

“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”

Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.

Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.

“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura.”

Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia.

Kidung Malam (3) Menyalahgunakan Kekuasaan

Beberapa pekan berlalu, Kunthi beserta kelima anaknya tinggal di Keraton Hastinapura. Walaupun sejak kecil hidup di pegunungan, mereka tidak canggung menjalani hidup mewah di istana. Karena di Saptarengga Begawan Abiyasa menggembleng dan membekali mereka dengan berbagai ilmu, unggah-ungguh, dan hukum tatanegara. Maka tidak mengherankan, dalam usia belia, Pandawa telah menunjukkan kematangannya. 

Patih Sengkuni dan ke seratus anak Destarastra, tidak senang melihat kelebihan bocah-bocah Pandawa. Padahal usia mereka sebaya dengan Kurawa. Rasa dengki dan benci merambat dari dasar hati. Mereka lupa bahwa para Pandawa adalah adik keponakannya, yang seharusnya ikut bangga karena kelebihannya. Tetapi sayang, hati mereka ditutup oleh kemewahan. Pikiran mereka dibelenggu oleh kekuasaan dan bahkan mata mereka silau akan tahta.

Harapan Destarastra memboyong Pandawa ke keraton, agar diantara Pandawa dan Kurawa hidup rukun berdampingan Namun harapan tersebut tidak kesampaian. Sesama cucu Abiyasa itu ibaratnya air dan minyak, tidak pernah rukun. Duryudana dan adik-adiknya selalu mencari dan membuat masalah. Dengan berlindung dibawah kekuasaan Prabu Destarastra, para Kurawa memamerkan kekuatan untuk menghasut kawula Hastinapura. supaya di mata rakyat, Pandawa tidak memiliki kepantasan menjadi raja.

“Hai Para kawula! Tidak sadarkah kalian, bahwa Abiyasa telah membelokkan tahta Hastinapura? Bukankah yang berhak menjadi raja adalah putra sulung laki-laki dari raja yang berkuasa? Siapakah anak sulung Abiyasa, pada waktu ia menjadi raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana?”

“Destarastraaa!” teriak para kawula di kasatriyan Banjarjungut.
“Dan siapakah anak sulung Prabu Destarastra, raja kita sekarang?”
“Duryudanaaa!”
“Jelas bukan! Siapa yang lebih berhak menduduki tahta Hastinapura?
“Duryudana!”
“Bagus! Suara kalian adalah suara kejujuran. Dan Duryudana merupakan pilihan kejujuran. Jika negeri ini diperintah dengan jujur, tidak ada penyelewengan, maka Hastinapura akan aman dan makmur.” Dursasana menegaskan.

Lepas dari benar dan tidaknya bahwa sesungguhnya yang berhak menduduki tahta adalah Duryudana, para kawula sudah mempercayakan kewibawaan dan kebesaran Hastinapura kepada Pandawa. Maka jika nanti Prabu Destarastra memberikan tahta kepada Duryudana, putra sulungnya, kawula akan terluka. Hastinapurapun berduka.

Panas udara kotaraja Hastinapura di malam Anggorokasih itu. Dewi Gendari mengajak Destarastra keluar cepuri untuk merasakan tiupan angin malam di Taman Candrakirana, barangkali hal tersebut dapat melepas kegerahan.

“Kanda Prabu, apakah yang Kanda pikirkan. Raut muka kakanda menyisakan kekece-waan. Tidakkah kanda menikmati indahnya suasana malam di Taman Candarkirana ini?”
“Dinda Gendari, apakah engkau tidak merasakan penderitaanku?”
“Kakanda, derita kita adalah satu, apa yang Kanda derita, juga aku derita. Katakanlah Kanda tentang derita itu!”
“Gendari. Selama aku memerintah belum pernah aku mengecewakan rakyat. Kebijaksanaan yang aku putusan selalu berdasarkan suara dan kebutuhan rakyat. Tetapi engkau merasakan sendiri, apa yang kudapat atas jerih payahku, kecuali hanya tahta kosong tanpa wahyu dan kewibawaan. Suara rakyat yang mengelu-elukan kedatangan para Pandawa, bukti bahwa mereka mendambakan raja baru yang dapat membawa kemakmuran. Itu artinya bahwa rakyat kecewa dengan pemerintahanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku mulai curiga bahwa aku telah dikkianati. Laporan yang aku terima dari orang-orang kepercayaanku, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka memanfaatkan kebutaanku. Aku telah dihina, dikhianati, Keparaaat!! Rasakan aji lebur sekethi!” Brooll! Beteng taman di depan Destarastra hancur rata dengan tanah, digerayang tangan Destarastra yang telah dialiri aji lebur sekethi. Dewi Gendari gemetar ketakutan melihat kemarahan Destarastra.
“Ampuuun Kanda Prabu, jangan hancurkan negeri ini! Apakah Kanda tega meninggalkan puing-puing kebobrokan kepada anak cucu kita?”
“Gendari, jangan halangi aku! Jika engkau tidak menginginkan negeri ini luluh lantak oleh aji lebur sekethi, panggil Patih Sengkuni. Cepaaat!!”

Untuk sesaat darah Gendari berhenti mengalir mendengar nama Patih Sengkuni disebut. Apakah Destarastra mengetahui bahwa Patih Sengkuni telah berkhianat? Wah gawat! Tidak terbayangkan apa jadinya seandainya pada saat kemarahan memuncak, Sengkuni berada di depan Destarastra.

“Ampun Kanda Prabu, redakan gelombang kemarahan dan berpikirlah dengan jernih. Dalam kejernihan hati Kanda Prabu akan dapat melihat dengan jelas persoalannya dan mencari jalan keluarnya.”
“Gendari, semuanya sudah jelas, bahwa aku dikhianati. dan bawa pengkhianat itu ke hadapanku.”
“Kanda Prabu, Patih Sengkuni adalah adik kandungku, aku mengetahui apa yang dikerjakan selama ini. Ia bukan seorang pengkhianat Ia telah bekerja keras siang malam demi Kanda Prabu.”
“Gendari justru karena ia adikmu, engkau menutupi kesalahannya.”
“Ampun Kanda Prabu, beri kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Kakanda tidak benar.”
“Jangan tunda waktu, lakukan itu!”
“Baiklah Kakanda. Perintah ini adalah perintah seorang raja. Raja Hastinapura yang besar dan agung. Sebagai kawula aku akan melaksanakannya dengan penuh pengabdian dan ketulusan. Mohon doa restu Kanda Prabu, agar aku dapat segera menemukan orang yang telah merongrong kewibawaan raja dan mereka yang berkhianat.”

Destarastra sedikit lega, atas kesanggupan Dewi Gendari. Angin malam bertiup dingin. Mendinginkan hati Destarastra. Sehingga ia membiarkan tangannya dipegang lembut oleh Dewi Gendari untuk kemudian dituntun masuk ke dalam kedhaton.

Sebelum memasuki pintu kedaton, tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya mendengar auman serigala di Taman Candrakirana. Auman itu mengingatkan tangis seorang bayi sulung yang kemudian diberi nama Duryudana. Suara si bijak Yamawidura terdengar kembali, ‘hendaknya kakanda Destarastra membuang bayi yang tangisnya menyerupai lolongan serigala itu di sungai, karena bayi yang berciri demikian akan membawa bencana besar.’

Ebook Wayang

  1. Arjuna Wiwaha
  2. Cerita Wayang Klithik
  3. Kartawiyoga
  4. Mahabharata
  5. Sumantri Ngenger
  6. Tiga Suri Teladan I , II

Kidung Malam (2) Tahta dan Kewibawaan

Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.

Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.

Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.

Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan Hastinapura.

“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”

“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”

“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”

“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” sahut Bisma.

“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”

Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.

Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.

“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!”
“Hidup anak Pandu!”
“Hiduuup!”

Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.

Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.

“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”

“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.”

Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.

Kidung Malam (1)

Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga, baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja. Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai, karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali mereka melantunkan mantra kidungan; Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan sirna

Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja. Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.

“Kakanda Destarastra”
“O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah.”
“Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu.”
“Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura.”
“Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil, karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura.”
“Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra, namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran di tengah-tengah kegelisahan hatiku.”
“Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?”
“Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura.”
“O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan”
“Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?”
“Perang saudara kakanda”
Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan, yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra, agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.
“Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?”
“Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu”
“Apa yang harus aku perbuat?”
“Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam.”

Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.

“Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari.”
“Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini.”
“Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi Hastinapura.”
“Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan.”
“Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu”
“Peri hal permintaan anak-anak kita”
“Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku.”
“Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita.”
“Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar Hastinapura.”

“Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan Yamawidura.”

“Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita beri kesempatan.?”

“Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan.”

“Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan ringanlah jadinya.”

Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup terdengar dari kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi .... Dan malam pun berlalu dengan selamat.

PUNTADEWA Manusia tidak bermusuh

Puntadewa adalah anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura. yang lahir dari Dewi Kunthi Talibrata. Dari ibu yang sama ia mempunyai dua adik laki-laki, yaitu Bimasena dan Harjuna. Sedangkan dari Dewi Madrim ibu yang lain, Puntadewa mempunyai saudara laki-laki kembar, bernama Pinten dan Tansen. Kelima anak laki-laki Pandu Dewanata lebih dikenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Selain berayah Pandudewanata, Puntadewa dikenal juga sebagai anak Dewa pendarma, yang bernama Bathara Dharma.

Pada umumnya Puntadewa dianggap tokoh baik, berwatak putih suci, berbudi halus, sabar, berbelas kasih, setia, tidak mau mengecewakan orang lain, dan tulus ikhlas memberikan kepunyaannya kepada orang lain yang membutuhkan. Bahkan istrinya sekali pun jika diminta, akan diberikan. Karena perilaku yang teramat baik itulah, Puntadewa disebut sebagai manusia sempurna berdarah putih, atau manusia Ajatasatru, artinya manusia yang tidak mempunyai musuh.

Sebagai anak sulung, Puntadewa dipersiapkan menjadi raja. Namun sayang, Pandu Dewanata wafat ketika ke lima anak-anaknya masih kecil, sehingga untuk sementara negara Astinapura di titipkan kepada kakak Pandu yang bernama Destarasta, dengan janji bahwa nanti setelah Pandawa dewasa Kerajaan Astinapura akan diserahkan kepada Puntadewa. Namun janji tersebut tidak pernah ditepati. Buktinya, setelah Puntadewa dan ke empat adiknya dewasa, para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh mereka dengan cara menjebaknya dalam sebuah rumah dan membakarnya hidup-hidup. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Bale Sigala-gala." Setelah tragedi berlalu, diantara puing-puing reruntuhan, didapatkan enam jenasah yang hangus terbakar, dan itu diyakini bahwa mereka adalah Kunthi Puntadewa dan ke empat adiknya. Dengan demikian tahta Hastina sudah aman dari pewarisnya. Maka segeralah Duryudana, anak sulung Prabu Destarastra naik tahta menjadi Raja Hastinapura.

Beberapa tahun kemudian, ada berita bahwa Puntadewa, Kunthi dan keempat adiknya masih hidup dan bahkan saat ini mereka sedang merayakan perkawinan Puntadewa dengan Dewi Drupadi di Negara Pancala. Agar Para Pandawa tidak merebut tahta Hastina, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk memanggil mereka dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta. Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta.

Dikisahkan bahwa Alas Wanamarta sesungguhnya merupakan sebuah Kraton "lelembut"yang sangat indah bernama Indraprasta, Prabu Yudistira, adalah nama rajanya. Ia mempunyai empat adik laki-laki bernama Dandunwacana, Dananjaya dan saudara kembar Nakula, Sadewa. Di dalam Wayang Kulit Purwa, Prabu Yudistira dan ke empat adik laki-lakinya bentuknya sulit dibedakan dengan Pandawa Lima. Prabu Yudistira seperti Puntadewa, Dandunwacana hampir sama dengan Bimasena, Dananjaya mirip Harjuna, sedangkan Nakula Sadewa tidak jauh berbeda dengan Pinten dan Tansen.

Ketika Puntadewa, adik-adiknya dan didukung para kawula berkumpul di hutan untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Harjuna, karena ia mempunyai pusaka 'Lenga Jayeng Katon' yang jika dioleskan di mata dapat melihat para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para penguasa Kerajaan Indraprasta.

Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Kerajaan Indraprasta diserahkan kepada Puntadewa. Jiwa Prabu Yudistira masuk ke dalam jiwa Puntadewa, diikuti oleh jiwa Dandunwacana bersatu dengan Bimasena, Dananjaya bersatu dengan Harjuna, si kembar Nakula dan Sadewa menyatu dengan si kembar Pinten dan Tansen.

Setelah peristiwa itu, keajaiban terjadi. Alas lebat Wanamarta berubah menjadi keraton megah dan indah, dengan nama Indraprasta. Puntadewa diangkat menjadi Raja dengan gelar Prabu Yudistira. Demikian juga Bimasena disebut juga Dandunwacana, Harjuna disebut Dananjaya, dan Pinten, Tansen disebut juga Nakula, Sadewa.

Sebagai ucapan syukur atas keberhasilan mendirikan Keraton Indraprasta yang besar dan sangat indah, jauh melebihi Negara Astinapura, Prabu Yudistira mengadakan upacara sesaji yang dinamakan Sesaji Raja Suya. Pada upacara tersebut, Prabu Yudistira mengundang Raja-raja dari seribu negara, termasuk Raja Astina Prabu Duryudana. Pada Upacara Sesaji Raja Suya, nampaklah kebesaran Prabu Yudistira yang dielu-elukan raja dari seribu negara dan juga kemegahan dan keindahan negara Indraprasta. Tentu saja Prabu Duryudana menjadi iri. Di dalangi oleh Patih Sengkuni, Prabu Duryudana ingin merebut Negara Indraprasta. Maka disusunlah siasat licik. Prabu Duryudana mengundang Puntadewa untuk bermain dadu dalam sebuah acara pesta. Pada puncak permainan dadu, Puntadewa mempertaruhkan negara Indraprasta beserta isinya, dan kalah. Akibatnya Puntadewa dan adik-adiknya, juga kawula Indraprasta terusir dari keraton. Mereka dibuang ke hutan dan hidup sengsara selama 13 tahun.

SOAL CPNS Download GRATIS

  1. CPNS Bahasa Indonesia
  2. CPNS Bahasa Inggris
  3. CPNS Falsafah Ideologi
  4. CPNS Sejarah Nasional Indonesia
  5. CPNS Tata Negara
  6. Kebijakan Pemerintah
  7. Kumpulan Soal Tata Negara Falsafah Idiologi Sejarah UUD
  8. Pengetahuan Umum
  9. Soal B Indonesia
  10. Soal PNS PU
  11. Soal CPNS Pemkab
  12. Test Bakat Skolastik
  13. Toefl Practice Paper Based
  14. UUD 1945 Amandemen

Ebook Terjemahan

  1. The Da Vinci Code (Dan Brown)
  2. Digital Fortress / BentengDigital (Dan Brown)
  3. Malaikat dan Iblis (Dan brown)
  4. Titik Muslihat (Dan Brown)
  5. Kisah 47 Ronin (John Allyn)
  6. Sang Alkemis (Paulo Coelho)
  7. Frankenstein (Mary Shelley)
  8. Empress Orchid
  9. Musashi I Tanah
  10. Mushasi II Air
  11. Mushasi III Api
  12. Musashi IV Angin 
  13. Musashi V Langit
  14. Musashi VI Matahari Bulan
  15. Musashi VII Cahaya 
  16. TAIKO I
  17. TAIKO II
  18. TAIKO III
  19. TAIKO IV
  20. TAIKO V
  21. TAIKO VI
  22. TAIKO VII
  23. TAIKO VIII

Darah yang Bercahaya

Kematian Dursasana yang mengenaskan segera tersebar ke segala penjuru pertempuran. Dengan rasa ngeri diceritakan bagaimana Bima tidak lagi bertindak seperti manusia. Ia menghancurkan wajah Dursasana yang buruk rupa, menggocohnya sampai menjadi bubur, menyobek perutnya dengan pisau, mengeluarkan ususnya, dan menghirup darah sebanyak-banyaknya. Demikianlah diceritakan dalam Kakawin Bharata-Yuddha:


Pada waktu itu berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.

”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang menjelma di dunia ini! Lihatlah Bhima ini yang sedang akan memenuhi janjinya di tengah medan pertempuran. Darah Dussasana inilah yang akan saya minum. Lihatlah!

”Dan untuk dewi Draupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai rambutnya. Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dussasana dan rasakan pahalamu untuk membuat kejahatan yang terus menerus. Bah, bahwa kau ini tetap meronta-ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akan kau lanjutkan perbuatanmu yang jahat itu? Buktinya, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”

Demikianlah ucapan Bhima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus Dussasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, perut inilah yang disudet. Pada ketika itu Dussasana telah tidak sadarkan akan dirinya lagi; kemudian dada yang telah disudet itu dibuka lebih lebar lagi. Kelihatannya seolah-olah Dussasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit. Ketika Bhima minum darahnya itu, Dussasana secara mata gelap memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, meronta-ronta dan mencoba memegang Bhima, padahal badannya telah berkejatan.

Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bhima minum darah dan dengan ketetapan hati menarik usus Dussasana dari perutnya. Kelihatannya seolah-olah ia akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.

Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega merah yang kena sinar matahari. Bhima yang berjalan dengan angkuhnya itu dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjolak ke atas. Dengan segera ia melempar-lemparkan mayat Dussasana ke atas, disertai oleh kata-kata seperti guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!” Demikianlah ucapan Bhima dan dilemparkannya mayat Dussasana itu ke arah Suyodhana. 1)

Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya.

”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya.

Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu. Drupadi ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya kekejaman. Benar dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?

”Inilah air kutukan itu, Dewi.”

Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas itu ke atas kepalanya.

Pada senja di hari kematian Dursasana itu, orang-orang melihat cahaya berkilat menyemburat ke langit dari tenda Drupadi. Cahaya terang yang memancar-mancar. Para pengawal berlarian menuju tenda itu. Namun mereka berpapasan dengan dayang-dayang yang berwajah pucat.

”Dewi Drupadi…”

”Kenapa Dewi Drupadi?”

”Mandi darah.”

Pengawal pertama yang menyibak tenda terkejut. Drupadi bersamadi dengan seluruh tubuh bersimbah darah. Cahaya memancar dari tubuhnya, semburat ke angkasa.

lunas sudah piutangmu Dursasana
tak terlunaskan piutang pada kesucian
semua kejahatan ada bayarannya
meski kebaikan tidak minta balasan
Pada malam hari Drupadi berkumpul dengan suami dan saudaranya. Hari itu Karna juga telah gugur.

”Apa hasil perang ini,” kata Drupadi, ”putra-putra Pandawa yang perkasa seperti Irawan, Abimanyu, dan Gatotkaca telah gugur. Kita akan menang, tapi apa arti kemenangan ini selain pelampiasan dendam yang tidak terpuaskan. Orang-orang yang kita hormati telah tiada. Kemenangan ini akan kita persembahkan kepada siapa?”

Kresna bicara.

”Bharatayudha adalah suatu penebusan, Drupadi. Resi Bhisma menebus kelalaiannya kepada Dewi Amba. Mahaguru Dorna menebus rasismenya kepada Ekalaya dari Nisada. Esok pagi Salya akan menebus kebenciannya terhadap Bagaspati, mertuanya sendiri. Kita hidup dalam lingkaran karma. Kodrat tak terhindarkan, tapi tidak untuk disesali. Bahkan Salya pun tidak punya niat jahat, karena ia dulu adalah Sumantri yang mengingkari Sukasrana. Bagaimanakah caranya kita menghindari diri kita Drupadi? Tidak bisa. Bharatayudha hanyalah jalan bagi setiap orang untuk memenuhi karmanya, melengkapkan perannya, untuk membersihkan dunia. Kelak anak Utari yang bernama Parikesit akan menjadi raja, saat itu dunia bersih bagai tanpa noda, tapi tetap saja ada yang bernama malapetaka. Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan itu. Perang ini penuh perlambangan. Siapakah yang lebih jahat Drupadi, Dursasana yang menelanjangimu atau Bima yang menghirup darah Dursasana? Perang ini adalah sebuah pertanyaan. Apakah jalan kekerasan para ksatria bisa dibenarkan?”

Drupadi menjawab.

”Aku Drupadi, seorang perempuan, terus terang menghendaki darah Dursasana, untuk memberi pelajaran kepada penghinaan.”

”Jawabannya bisa lebih panjang Drupadi. Engkau seorang perempuan telah memberi pelajaran tentang bagaimana perempuan menghidupkan diri dengan dendam. Sama seperti dendam Amba kepada Bhisma, sama seperti dendam Gandari kepada penglihatan karena mendapat suami dalam kebutaan. Perang ini memberi peringatan, wahai Drupadi, betapa dendam bisa begitu mengerikan. Para Pandawa adalah ahli bertapa, namun di seluruh anak benua tiada pembunuh yang lebih besar daripada mereka.”

”Kresna yang bijak, ingatlah bahwa para Pandawa selalu membela kebenaran.”

”Tidak ada yang keliru, duhai Drupadi yang cerdas, bahkan mereka akan selalu dilindungi para dewa. Tapi renungkanlah kembali makna kekerasan.”

”Dunia ini penuh kekerasan, Kresna. Terutama aku, perempuan, yang selalu jadi korban.

”Maka memang menjadi pilihan, Drupadi, kita akan menghindari atau menggunakan kekerasan.”

Drupadi berdiri.

”Kresna, engkau sungguh pandai bicara. Tapi engkau belum pernah menjadi korban. Itulah masalahmu Kresna, engkau mengerti segalanya, namun engkau tidak pernah merasakannya. Aku adalah korban, dan aku menggunakan hak diriku sebagai korban untuk menjawab nasibku dengan kemarahan. Engkau mengatur segala-galanya. Kau korbankan Gatotkaca, agar Karna melepaskan Konta, sehingga Arjuna bisa menandinginya. Apakah engkau tidak pernah mendendam Kresna, engkau memutar leher Sishupala hanya karena kata-kata, engkau membunuh Salwa orang bodoh yang mengacau Dwaraka. Itukah pelajaranmu untuk dunia? Aku sudah menjadi korban, dan dari seseorang yang sudah menjadi korban, engkau memintanya berjiwa besar. Apakah itu tidak terlalu berlebihan? Biarlah Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, tapi aku Drupadi, seorang perempuan, menggunakan hak diriku sebagai korban untuk melakukan pembalasan.”

”Itu hanya membuktikan, wahai Drupadi, bukan hanya kejantanan menjadi korban kekerasan.”

”Kresna, Kresna, bagimu pelaku kekerasan adalah korban. Lantas harus diberi nama apa korban kekerasan itu sendiri?”

Yudhistira berdiri.

”Kresna kakakku, Drupadi istriku. Janganlah diteruskan lagi. Masih banyak yang harus kita atasi.”

Drupadi menarik nafas. Wajahnya terang dan bercahaya, dalam tatapan kagum suaminya.

Luka Hati Seorang Dorna Terbalaskan

Tubuhnya yang cacat berawal ketika mengunjungi bekas sahabat karibnya Sucitra yang ketika itu telah menjadi raja negara Pancala bernama Drupada. Dahulu ketika keduanya masih menjadi siswa Resi Baratwadya mereka sangat bersahabat, berperibahasa makan sepiring bersama minum semangkuk bersama. Bahkan ketika Sucitra kempali ke negeranya berjanji akan memberikan sebagian tanah negara kepada Dorna. Karena itu harapannya bila nanti bertemu dengan Sucitra, ia pasti akan disambut dengan penuh keramah tamahan sehingga akan merupakan pertemuan nostalgia yang sangat indah mengenang masa lalu.

Tetapi apa yang terjadi, lain harapan yang diangankan lain pula yang dialami. Begitu ia masuk keraton menyapa sahabatnya dengan kata-kata penuh kerinduan, lain pula budi perangai Drupada yang diperlihatkan dingin, muram dan berucap ketus: “Hei, siapa engkau … beraninya mengaku kau sahabat karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau. Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku bersahabat dengan seorang pengemis seperti engkau. Cisss, dasar gelandangan tak tahu diri,” ujarnya sambil memblengoskan muka.

Dorna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan. Tapi ia masih mencoba mengingatkan, hanya kata-katanya berbeda dengan yang tadi: “Oh, maaf beribu maaf tuan. Hamba memang orang dari dusun tak tahu sopan santun. Sikap hamba tadi karena hamba mengira tuan masih seperti tuan yang dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu dan, …” “Cukup,” bentak Drupada memutus pembicaraan Dorna. “Itu pengakuan yang tidak akan pernah terjadi dan hanya dibuat-buat agar aku mau mengakui bahwa kaubenar sahabatku. Aku memang pernah berguru ilmu, tetapi tidak pernah seperguruan dengan orang serendahmu,” kilahnya.

Seterusnya Drupada menuduh Dorna sengaja hendak mempermalukan dirinya di hadapan para mantri Bopati yang hadir saat itu. Sementara patih Gandamanah, body guard sang raja yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Dorna, telah melanggar kesopanan menjadi naik pitam. Tak ayal lagi diseretnya pendeta muda itu keluar Keraton dan dihajar habis-habisan hingga tak sadarkan diri, lalu dibuang ke tengah hutan belantara.

Akibat penganiayaan berat tubuhnya menjadi cacat, hidungnya benkung, mata picak sebelah, tangan sengkong bekas diplintir hingga patah tulangnya. Dalam keadaan tubuh rusak ia memaksakan diri berjalan sambil merasakan sakitnya lahir dan batin.

Akhirnya tibalah ia di sebuah negara yang tidak lain adalah negara Astinapura. Nasib baik telah menanti berkat ilmunya tinggi. Ia diangkat oleh Arya Bisma menjadi guru besar jurusan ilmu perang menggunakan senjata dan strategi perang. Sedang mahasiswanya terdiri dari keluarga kerajaan yaitu Kurawa dan Pandawa.

Bertahun-tahun sudah dia membina kedua golongan keturunan Barata dan melahirkan manusia-manusia berjiwa ksatria. Sekalipun demikian luka hatinya oleh Drupada menjadi obsesi yang tak terlupakan. Peribahasa luka di badan masih dapat disembuhkan, luka di hati sulit dihilangkan. Ia ingin membalas tetapi tanpa harus melukai fisik orang itu. Ia hanya ingin mempermalukan sahabatnya itu, seperti pernah ia ipermalukan di hadapan para Mentri Bopati Pancala. Karena itu ia ingin menangkap Drupada tapi tidak oleh tangannya sendiri, melainkan oleh murid-muridnya. Untuk itu ia harus meningkatkan ilmu perang murid-muridnya untuk menghadapi balatentara Pancala.

Demikianlah suatu hari ia memanggil murid-muridnya untuk dicoba keterampilan menggunakan senjata panah. Sasarannya seekor burung yang hinggap di dahan pohon. Caranya iatur secara adil dimulai dari Yudhistira. Sebelum diperkenankan melepas senjata sang guru bertanya dahulu: “Kau harus awas terhadap burung itu, coba lihat, selain burung apa kau lihat menurut ciptaanmu?” Yudhistira: “Selain burung saya lihat batang pohon, wujud bapak guru dan keempat saudara saya.” Sang resi mengulangi pertanyaan yang sama dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Resi jengkel mendengar jawaban yang itu-itu juga, lalu katanya: “Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, ayo minggir.” tukasnya ketus. Giliran Duryudana, sang guru bertanya dengan pertanyaan yang sama yang dijawa oleh Duryudana: “Selain burung saya lihat daun bergumpluk banyak sekali, kemudian dahan dan ranting, kemudian euu, kemudiannn euuu…..” “Sudah, sudah, sama bodohnya, ayo minggir.” katanya jengkel. Demikian para Kurawa dan Pandawa telah mendapat giliran, tetapi semua jawaban tidak satu pun yang memuaskan sang guru.

Terakhir giliran Arjuna lalu ditanya: “Apa yang kau lihat disana” “Burung,” jawab Arjuna. “Selain burung apalagi yang kau lihat?” “Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung,” jawabnya. Mendadak wajah sang resi berseri, tapi ia bertanya lagi: “Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu warnanya.” Tetapi Arjuna hanya menjawab: “Yang kelihatan hanya kepalanya.” Seketika sang guru memerintahkan: “Lepaskan anak panah itu.” Dan melesatlah anak panah suaranya bersuling tepat mengenai sasarannya hingga burung itu jatuh ke bumi, disambut tampik sorak para siswa tanda gembira atas keberhasilan Arjuna.

Demikianlah di hadapan murid-muridnya ia mengharap rasa solider mau menangkap Drupada tanpa dilukai. Duryudana ketua kelompok Kurawa unjuk muda ingin mendapat nama sebagai murid yang paling menyayangi guru lalu berkata: “Bapak guru, luka hatimu adalah luka hati di hatiku. Karena itu akulah yang akan menyeret si Drupada itu ke hadapanmu,” katanya pongah. Maka tanpa minta restu dahulu, berangkatlah ia dengan kelompokKurawa menuju negara Pancala. Tetapi apa hasilnya, mereka hanya pulang dengan tangan hampa bahkan babak belur dihajar tentara Pancala dan langsung pulang keasramanya karena malu unjuk muka. Giliran Pandawa mohon restu menangkap Drupada. Dorna berpesan: “Anakku Pandawa, meski hatiku sakit tangkaplah ia tanpa kau lukai. Balaslah kejahatan dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu.” pesannya.

Berangkatlah para Pandawa menuju Pancala. Selang berapa lama Arjuna berhasil menangkap Drupada dalam keadaan utuh dan membawanya ke hadapan Dorna. Drupada duduk termenung menanggung malu tak berani bertatap mata dengan Dorna. Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya. Terbayang kembali dalam ingatannya ketika Dorna datang menemui tapi tak diakui, bahkan dihina dan ia menjadi tawanan untuk menerima peembalasan bahkan mungkin nyawa melayang. Ia terkejut Dorna menyapa: “Selamat datang paduka raja agung negara Pancala. Hamba mohon maaf belum bisa menerima paduka dengan selayaknya. Maklumlah hamba hanya seorang pengemis hina tak berharga.” ujarnya menirukan kata-kata penghinaan Drupada kepadanya dulu. “Oh, kakang Dorna, aku terima salah telah membuat kakang sakit lahir dan batin. Tetapi juga waktu itu kakang tidak menghargai aku sebagai raja. kakang masih menyamakan aku sebagai orang biasa berteriak-teriak memanggil namaku dibawah sorotan puluhan mata para sentana praja dan mentri bopati, sehingga aku merasa dipermalukan,”

Drupada coba memberi alasan. Dorna tertunduk mendengar alasan yang benar dan tak menyalahi. Tapi kemudian ia menjawab: “Hamba merasa bersalah tak tahu sopan santun sehingga mempermalukan paduka di hadapan para mentri bopati walau di saat itu juga hamba sudah memohon maaf itu tidak berarti sedikit pun bagi paduka. Malah lebih dari itu paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya oleh pengawal paduka. Padahal kita pernah bersahabat bagai kakak adik,” ujarnya dengan nada sendu. “Yah, aku memang bersalah, kini terserah mati hidupku ada ditangan kakang,” katanya pasrah. “Jangan samakan diri paduka dengan hamba. Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji, walaupun paduka telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga terasa pedih tak terperikan, tetapi rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas dengan cara seperti pernah paduka laukan terhadap diri hamba.

Sebab bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib hamba ketika sama-sama menjadi siswa resi Baratwaja. itu pun kalau paduka masih mengakui kita bekas teman akrab,” ujarnya. “Lalu apa maksud kakang sekarang aku telah menjadi tawananmu,” tanyanya. “Hamba akan menagih janji yang pernah paduka ikrarkan ketika di perguruan, bahwa paduka akan menganugerahkan separuh tanah dari kerajaan Pancalareja kepada hamba. Itulah yang harus paduka tetapi sekarang juga,” tukasnya dengan nada serius. Seketika terdengar suara orang banyak mengatakan rasa puas dengan keputusan Dorna. Sementara lainnya mengatakan, bahwa Drupada beruntung tidak dianiaya seperti dahuli dialami Dorna.

Mendengar umpatan itu Drupada yang rasa ke-aku-akuannya sangat tinggi merasa sangat malu. Dalam hatinya ia berkata, ternyata Dorna lebih kejam dari dugaan semula. Biar tak disakiti tapi dipermalukan di hadapan orang banyak hancurlah keagungannya. Belum lagi ia harus menyerahkan sebagian tanah kerajaan yang kesemuanya tak dapat dinilai dengan harta benda. Dalam hatinya ia berjanji akan membalas sakit hatinya kepada Dorna. Begitulah nafsu itu bagaikan hawa tiada tepinya, maka saling mendendam pun tiada habisnya.

Mata Malam

PAGI ini seluruh keluarga Pandawa berduka. Tadi malam salah satu putra terbaik, Gatutkaca anak Bima tewas di medan perang. Tungku pembakaran jasadnya masih mengepulkan asap, membubung tinggi ke angkasa. Baranya bahkan belum padam. Wewangian merebak dan semua menundukkan kepala. Mungkin aku satu-satunya yang tidak menangis karena bagiku tak ada yang perlu ditangisi. Dia mati dengan hebat, bertempur dengan ksatria yang sama sekali bukan tandingannya, Karna Adipati Awangga, sulung Pandawa yang dibuang ibunya dan memilih bergabung dengan Kurawa. Aku tahu semua alasannya, jadi mengapa kini semua berlomba mengucurkan air mata. Satu-satunya yang berhak menangis adalah Pergiwa, istri Gatutkaca. Dia tidak pernah tahu untuk apa suaminya mati. Dan jika ada orang kedua yang pantas meratapi kematiannya, maka itu adalah aku karena aku yang melahirkannya.

Aku tidak akan lupa anakku lahir menderita. Tali pusatnya tidak terpotong oleh senjata apa pun. Semua keris dan panah terhebat Arjuna, bahkan senjata Cakra Kresna seakan-akan tak memiliki tuah apa-apa. Hanya ada satu senjata yang mampu, pusaka Wijayandanu yang dikuasai Karna. Saat itu Kresna, kiblat Pandawa, berkata, sesungguhnya Wijayandanu adalah hak Arjuna. Merebutnya dari tangan Karna bukanlah sebuah kesalahan. Kakak beradik itu segera terlibat pertarungan sengit. Arjuna hanya berhasil merebut sarung pusaka. Peristiwa itu membuatku percaya bahwa ada garis yang telah ditentukan untuk pilihan-pilihan manusia karena sarung pusaka yang sama sekali tidak tajam itu mampu mengakhiri penderitaan anakku, memotong tali pusarnya dan segera lenyap sesudahnya. Aku tak peduli, hanya melihat ia menjadi bocah kecil, lengkap dengan senyum kanak-kanaknya.

Nasib yang membawanya ke jalan yang lain, sama sekali bukan pilihanku tapi apa daya. Ia terpilih menjadi pembela dewa-dewa di kahyangan. Pracona dan Sekipu, raksasa-raksasa buas itu menyerang kahyangan membuat dewa kalang kabut. Anakku terpilih untuk menghadapi mereka. Permainan apa lagi ini?

Sebagai bayi, anakku memang istimewa. Tubuhnya kukuh mewarisi kekuatan bapaknya. Dan kudengar, saat bertarung dengan raksasa-raksasa itu, taring-taring tajam mereka tak berarti bagi tubuh Gatutkaca.

Aku tidak mau melawan bayi. Jadikan tubuhnya sebanding dengan kami.

Raksasa-raksasa itu meminta dan dewa yang menentukan. Sekali lagi anakku tak punya pilihan. Tubuh mungilnya dilemparkan ke lautan api Candradimuka. Sekian puluh pusaka kahyangan menyertainya, melebur dalam tubuh. Beberapa saat kemudian ia muncul dari kobaran api. Sesosok pemuda usia belasan yang kemudian membantai Pracona, raja raksasa penyerang kahyangan.

Arimbi istriku, sayang sekali kau tidak menyaksikan kehebatan anakmu. Sebagai ayah, kebanggaanku tak terkira.

Bima mengantarkan anakku sekembali dari kahyangan dengan bangga. Sesosok bayi dipisahkan dari susuanku dan pulang sebagai seorang remaja yang tak pintar berkata-kata. Kebanggaan apa yang aku miliki? Tak tahukah mereka bahwa aku masih ingin menggendong dan meninabobokan sebelum tidur dengan lagu anak-anak, mengajari berjalan dan menyuapi dengan riang. Kini anakku pulang dengan sorot mata yang asing. Aku tak akan kuat lagi membimbing tangannya dan bahkan tubuhnya pun telah setinggi ayahnya. Kumisnya melintang, dadanya bidang lengkap dengan bulu lebatnya. Namun ayahnya tidak pernah mau tahu kalau matanya tetap mata seorang bocah. Dia bahkan tak mengenaliku sebelum ayahnya mengatakan bahwa aku ibunya. Neraka meledak di kepalaku saat ia bertanya apa itu seorang ibu.

Waktu berjalan cepat dan ia segera menjadi ksatria paling setia di keluarga Pandawa. Semua orang menyayangi, merasa lebih berhak atas hidupnya dan selama itu pula aku hanya bisa menjadi penonton. Anakku menjadi milik semua orang, milik sekian ratus ribu prajurit yang merasa bangga dipimpin olehnya. Ia milik Pandawa yang telah memiliki rencana besar akan masa depannya. Betul. Jika dia ada di Amarta. Namun saat dia pulang dan berkumpul dengan saudara-saudaranya? Antareja dan Antasena dengan keriangan mereka bercanda di halaman, memanjat pohon beringin yang ditanam Trembaka, ayahku, sementara Gatutkaca hanya mengawasi dari kejauhan. Dalam tubuh kekarnya, aku merasakan jiwa kecil yang memberontak karena ia tidak pernah mengalami masa-masa indah sebagaimana saudara-saudaranya. Ia tidak pernah bergulat di kubangan, naik rakit batang pisang di kali kotor, menangkap capung atau sekadar kejar-kejaran. Dalam hidupnya tak ada sejarah layang-layang daun gadung, topeng tempurung atau sekedar perang-perangan. Ia hanya mengenal perang yang sesungguhnya, yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya.

Aku pernah menanyainya suatu kali.

Anakku, apakah kau ingin memanjat pohon beringin itu? Yang ditanam oleh kakekmu?

Mereka tidak mengajakku.

Tapi kau boleh.

Tak ada jawaban.

Kau ingin menangkap capung?

Terlalu mudah bagiku.

Anakku mungkin memiliki pohon dan capung sendiri. Ya, di balik dada anakku yang bidang terdapat sayap pemberian dewa. Ia tak perlu memanjat untuk berkenalan dengan angkasa. Ia bebas pergi ke mana saja. Seperti burung elang, ia adalah penguasa di udara, tapi ia tetap tidak bisa bermain di sana. Segalanya terlewat begitu saja tanpa pernah tahu siapa yang telah merampasnya. Ia tidak pernah tahu barus bagaimana, di mana dan seperti apa. Tak tersediakah sekejap waktu untuk mengenalkannya pada apa itu senang, apa itu indah, apa itu duka? Biarlah ia tidak bergulat di kubangan. Ia tidak harus bermain layang-layang. Aku hanya ingin anakku menjadi seorang manusia.

Satu-satunya peristiwa yang membuatku bangga adalah saat dia jatuh cinta. Saat itulah aku melihatnya sebagai manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam sebuah perjalanan ia berjumpa Pergiwa, putri Arjuna. Hatinya berbunga. Belum lagi mengerti apa yang sesungguhnya sedang ia alami, kekecewaan menderanya dengan kejam saat tahu bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan Lesmana anak Duryudana Raja Hastina. Pergiwa telah merampas hatinya dan ia tak tahu harus berbuat apa selain terbang setinggi mungkin, menukik ke bukit cadas dan menghantamkan tubuhnya di bebatuan. Bukan tubuhnya yang hancur melainkan batu-batu yang pecah dan longsor ke bawah, mendebam bergemuruh menggempakan bumi.

Aku berterima kasih pada Kresna yang telah mengajarinya menjadi seorang laki-laki, mencuri pujaan hatinya, menikahi Pergiwa, dan dengan segera memberiku seorang cucu yang mewarisi kegagahannya, Sasikirana. Dua tahun berikutnya adalah masa terindah dalam hidupku. Setelah itu aku tidak boleh berharap terlalu banyak karena ia telah kembali pada kesediakalaannya. Hari-harinya adalah pertempuran, isi kepalanya adalah segala persoalan tentang bagaimana memikirkan taktik perang, memadamkan pemberontakan, memimpin pasukan ke negara seberang untuk memperluas jajahan.

Tubuh dan pikirannya sedang dibangun oleh Kresna -siapa lagi kalau bukan dia- demi menyambut Baratayuda, perang besar di Kurusetra. Kurawa dipenuhi orang-orang kuat berilmu tinggi dan Pandawa harus mempersiapkan segalanya mulai sekarang atau tidak sama sekali. Semua orang, bahkan aku percaya bahwa taktik Kresna adalah yang terbaik.

Hidup anakku diatur oleh Kresna. Bahkan peristiwa Tunggarana, sebuah tanah perbatasan antara Pringgandani dan Trajutrisna yang diperebutkan oleh Boma dan Gatutkaca, menurutku adalah perbuatan Kresna juga. Tanah gersang yang tidak seberapa luas itu mendadak melambung nilainya menjadi sebuah pertaruhan harga diri, sebuah persaingan antara Boma dan Gatutkaca. Keduanya merasa berhak atas Tunggarana dan rupanya kata-kata tak pernah cukup. Tak ada lain, pertarungan menjadi jawaban. Orang-orang beranggapan Boma akan menang karena ia adalah anak Kresna. Tetapi kenyataan berbicara lain. Gatutkaca menang dan Boma tersingkir. Bagiku bukan Gatutkaca yang menyingkirkannya melainkan Kresna sendiri. Kresna hanya ingin tahu sampai di mana kemampuan anakku sehingga harus dicarikan lawan yang seimbang. Boma sangat pantas untuk itu. Mengenai hubungan bapak anak itu, sedikit pun aku tidak percaya bahwa Kresna akan mengakui Boma sebagai darah dagingnya, karena sesungguhnya ia tak lebih dari aib seorang raksasa yang dengan licik telah memperkosa istrinya. Aku semakin yakin akan hal itu karena setelah peristiwa tewasnya Samba anak Kresna yang lain oleh Boma, pada akhirnya tangan Kresna sendiri yang mengakhiri hidup Boma dengan senjata Cakra.

Selanjutnya Pringgandani menjadi ujung tombak Amarta. Semua rakyat kami adalah ksatria-ksatria raksasa yang akan dengan mudah menyerahkan hidupnya untuk kemuliaan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka percaya telah ditakdirkan memiliki derajat lebih rendah dibanding manusia sehingga satu-satunya cara untuk menegaskan keberadaan adalah dengan mengabdi pada manusia, pada Pandawa. Dengan begitu, aku sama sekali tak heran jika kami selalu berada di garis terdepan pada setiap pertempuran. Tak terhitung lagi korban, tak terasa lagi pedihnya kehilangan karena semua telah menjadi keseharian. Tak terkecuali perang ini, Baratayuda, perang yang bagiku hanya demi menagih janji beberapa gelintir orang. Nyatanya, Kurusetra menjadi ladang pembantaian dan seperti pemulung beruntung, ajal memungut segalanya.

Tadi malam Kresna menyelinap ke peraduan Gatutkaca. Telingaku terlalu tajam untuk melewatkan percakapan mereka.

Anakku, seberapa besar kau mencintai Pandawa?

Sebesar hormatku padamu.

Jika kuminta nyawamu malam ini?

Kau lebih tahu harga yang pantas untuk itu.

Kemenangan Pandawa.

Tunjukkan jalanku.

Aku segera tahu bahwa pasukan Awangga yang dipimpin Karna menyerang pada malam hari. Meski kami telah sepakat untuk berperang hanya pada siang hari, mulai matahari timbul dan berhenti pada saat tenggelam, rupanya perang adalah perang yang sejak dulu hanya mementingkan tujuan, menghancurkan musuh dengan cara apa pun. Maka malam itu, Kurusetra segera merona oleh ribuan obor. Keringat dan darah belum lagi kering, tapi seburuk-buruk kenistaan seorang ksatria adalah menolak tantangan. Pasukan Pringgandani segera bersiap, mengasah taring masing-masing, memburu musuh Pandawa.

Mengapa harus anakku? Wijayandanu di tangan Karna adalah senjata pemusnah terhebat. Jangankan manusia, dewa pun tak akan sanggup. Sebuah rahasia yang samar-samar kudengar, senjata itu akan membunuh Arjuna, adik iparku yang paling disayang oleh Kunti ibu mertuaku. Tapi Kresna memiliki rencana lain. Harus ada yang dikorbankan sebelum Karna bertemu dengan Arjuna. Nyatalah bahwa sebenarnya tak ada lagi kesempatan bagi Gatutkaca. Ia hanya sekeping mata uang pembeli kemenangan Pandawa. Karna sama sekali bukan tandingannya. Dan aku tahu, saat bintang-bintang berjatuhan dari langit, Wijayandanu telah menemukan sarungnya, tenggelam di tubuh Gatutkaca. Anakku telah mengepakkan sayap kecilnya, terbang di sela-sela bintang, memungutinya seperti kerang. Tubuhnya digulung mendung, seperti Antareja dan Antasena yang bergelut di kubangan. Ia menukik ke bumi, tapi kali ini tanpa bayangan Pergiwa yang dulu membuatnya bertindak serupa. Tubuhnya membelah malam, menghantam kereta kuda Karna. Aku melihat senyum terakhirnya.

Pagi ini aku menyelinap ke benteng Kurawa untuk menemui Karna. Kuceritakan padanya tentang Gatutkaca, anakku yang malang. Mengapa seorang Karna begitu lantang tertawa setelah menghabisi nyawa seorang bocah yang sama sekali bukan tandingannya. Ia tersenyum.

Kami hanya sedang bermain.

Kutatap matanya lekat. Aku tahu bahwa aku telah memaafkannya. Aku segera memeluknya karena mata itu, ternyata adalah mata Gatutkaca juga. Mata bayi yang hanyut di sungai air mata ibunya. Kunti, mertuaku.

HTML Comment Box is loading comments...